Scroll Untuk Membaca

Medan

Trotoar Pungli Dan Wajah Tak Terurus Kota Medan

Trotoar Pungli Dan Wajah Tak Terurus Kota Medan
Kecil Besar
14px

Trotoar Pungli Dan Wajah Tak Terurus Kota Medan

MEDAN (Waspada): Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, soroti wajah Kota Medan pada HUT Ke 453. Dia menyampaikan hal ini Senin(30/6).

Dipaparkannya, sebagai kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia, Kota Medan seharusnya berdiri tegak sebagai wajah keteraturan dan kemajuan. Namun harapan itu seperti patah di tengah jalan. Kota ini justru tampak terjebak dalam kekacauan tata kelola dan budaya hukum yang nyaris tak berjejak.

Medan, alih-alih menjadi etalase peradaban, justru memperlihatkan gejala kehilangan arah.
Pelanggaran hukum telah menjadi pemandangan sehari-hari: dari merokok di ruang publik hingga pungutan liar di berbagai lini pelayanan. Penegakan hukum lemah, sementara masyarakat pun terlanjur permisif. Ketiadaan sanksi yang tegas dan ketidakhadiran pengawasan membuat pelanggaran seolah menjadi bagian dari kebiasaan kota.

Kondisi lalu lintas tak kalah semrawut. Pengendara kerap melanggar rambu, menyerobot trotoar, bahkan melawan arus lalu lintas tanpa rasa bersalah. Aparat pun seakan memilih diam. Jalanan Medan, dalam kenyataannya, tidak hanya mencerminkan ketidaktertiban, tapi juga lemahnya kendali pemerintah terhadap ruang publik.

Sampah yang berserakan di banyak titik kota mencerminkan buruknya sistem pengelolaan. Minimnya tempat sampah dan pengangkutan yang tak konsisten menandai kegagalan manajemen kota dalam menjalankan fungsi dasarnya. Bahkan trotoar, ruang yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, telah lama direbut oleh parkir liar, pedagang kaki lima, hingga bangunan ilegal.

Parkir liar tumbuh subur tanpa kendali. Tidak adanya karcis resmi dan lemahnya pengawasan memunculkan pertanyaan klasik yang hingga kini belum dijawab: siapa yang mengelola dan ke mana mengalir dana parkir kota ini?
Sementara itu, pungli masih menjadi penyakit lama yang tak kunjung sembuh.

Sekolah, pasar, bahkan layanan administrasi publik masih kerap dibumbui ‘tarif tak resmi’. Masyarakat dipaksa membayar lebih, sementara kepercayaan terhadap institusi terus tergerus.

Ketimpangan juga tampak pada aspek penerangan dan keamanan. Di pinggiran kota, jalan-jalan masih minim lampu, menjadi celah empuk bagi aksi kriminalitas. Kasus begal dan pencurian terus menghantui warga, menyisakan rasa tidak aman di kota yang semestinya modern dan tertib.

Sayangnya, pelayanan publik pun belum mampu menjawab tantangan zaman. Masih banyak instansi yang lamban, tak transparan, dan belum sepenuhnya bebas dari praktik birokrasi lama yang tidak ramah warga.

Ungkapan “kota tak bertuan” tampaknya bukan lagi sekadar kritik emosional, melainkan refleksi dari realitas tata kelola yang lepas kendali. Di balik status “metropolitan”, Medan justru memamerkan wajah yang gamang: lemah dalam penegakan aturan, amburadul dalam pengawasan, dan permisif terhadap pelanggaran.
Kota ini seakan berjalan tanpa arah yang tegas.

Tak ada narasi pembangunan yang menyatu, tak ada sistem yang mengontrol dengan integritas. Yang ada justru toleransi berjamaah terhadap kekacauan.

Medan tak kekurangan potensi. Tapi tanpa visi yang kuat, tanpa keberanian untuk menegakkan aturan, dan tanpa kemauan untuk membenahi sistem secara menyeluruh, kota ini akan terus berputar dalam lingkaran stagnasi. Kota metropolitan bukan sekadar gelar administratif. Ia menuntut kepemimpinan yang mampu mengembalikan wibawa dan arah. (m22)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE