MEDAN (Waspada): Tudingan adanya kecurangan oleh BPJS Kesehatan terhadap beberapa rumah sakit dianggap berlebihan dan melanggar prinsip praduga tak bersalah.
Penyelesaian dugaan fraud seharusnya dilakukan terlebih dahulu secara internal dengan melibatkan Tim Pertimbangan Klinis Provinsi, sesuai dengan Permenkes No. 17 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pertimbangan Klinis.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Indonesia (ARSSI) Cabang Sumatera Utara, Dr. dr. Beni Satria, M.Kes., S.H., M.H., FISQua, menegaskan, tuduhan kecurangan terhadap rumah sakit harus ditangani dengan prinsip keadilan dan transparansi. “Proses investigasi dugaan fraud harus melibatkan pihak internal rumah sakit dan Tim Pertimbangan Klinis Provinsi. Ini penting untuk memastikan proses yang fair bagi semua pihak,” ujar Beni kepada awak media, Kamis (25/7).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan mengatur bagaimana pencegahan, penanganan, serta pengenaan sanksi administrasi terhadap pelaku kecurangan dalam pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan.
Peraturan ini bertujuan agar pelaksanaan program Jaminan Kesehatan berjalan efektif dan efisien serta mencegah kerugian dana jaminan sosial nasional. Fraud pada JKN tidak hanya dilakukan oleh rumah sakit, tetapi juga bisa melibatkan peserta, puskesmas, klinik, penyedia obat dan alat kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, bahkan BPJS Kesehatan itu sendiri.
Peraturan ini memberikan panduan bagi peserta, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan, serta pemangku kepentingan lainnya untuk menyelenggarakan upaya pencegahan dan penanganan kecurangan secara sistematis dan komprehensif. Pasal 3 ayat (1) PMK No. 16 Tahun 2019 menugaskan pembentukan Tim Pencegahan Fraud yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kab/Kota, BPJS Kesehatan, dan FKRTL. “Jika benar terjadi kecurangan di rumah sakit, perlu dipertanyakan fungsi dan kinerja Tim Pencegahan Fraud di rumah sakit yang merupakan tanggung jawab bersama Dinas Kesehatan Kab/Kota, rumah sakit, dan BPJS Kesehatan,” tambah Beni.
Beni menambahkan bahwa tuduhan kecurangan yang disampaikan secara terbuka tanpa proses investigasi yang memadai dapat berdampak serius pada reputasi rumah sakit.
“Hal ini juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan nasional. Oleh karena itu, kami menyerukan agar BPJS Kesehatan mengedepankan prinsip praduga tak bersalah dan melibatkan pihak terkait dalam menyelesaikan dugaan fraud di rumah sakit,” tegasnya.
Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan merupakan interaksi antara peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan yang memerlukan penguatan bertahap. Dalam prosesnya, bisa terjadi permasalahan yang menyebabkan sengketa.
“Oleh karena itu, diperlukan sistem dan mekanisme untuk memberikan pertimbangan dalam penyelesaian sengketa, pendapat medis, serta konsultasi untuk pertimbangan klinis agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta efektif dan sesuai kebutuhan,” terangnya.
Dasar pembentukan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) dan Tim Pertimbangan Klinis (TPK) sesuai Pasal 91 ayat (4) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah untuk menyelesaikan sengketa yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Selanjutnya, berdasarkan pasal 91 ayat (6), Menteri mengatur pembentukan tugas, fungsi, dan kewenangan DPK serta tata cara penyelesaian sengketa klinis dalam Program Jaminan Kesehatan.
Penyelesaian sengketa klinis dalam Program JKN dilakukan secara berjenjang dari tingkat provinsi hingga pusat.
“Jika TPK provinsi tidak mampu menyelesaikan kasus yang disengketakan, maka wajib meneruskan kepada DPK untuk menyelesaikan sengketa tersebut,” tandasnya.(cbud)