Scroll Untuk Membaca

Medan

Tunjangan Perumahan DPRD Sumut Vs TPP Pemprovsu

Tunjangan Perumahan DPRD Sumut Vs TPP Pemprovsu
Ilustrasi
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Revisi tunjangan Perumahan Anggota DPRD Sumut tampaknya bukan lagi sekadar wacana. Sebagian wakil rakyat itu sepakat siap kalau duit untuk biaya perumahan itu mereka dikoreksi, namun hal itu harus dibarengi dengan langkah pengurangan serupa untuk Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) Sekda hingga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemprovsu.

Munculnya usulan agar TPP dikoreksi untuk eksekutif itu mencuat dalam sidang paripurna DPRD Sumut di ruang paripurna, Rabu (17/9), saat Gubsu Bobby Nasution menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Tahun Anggaran 2025 ke DPRD Sumut. 

Di tengah pidatonya, anggota DPRD Sumut dari Fraksi PD-P Syahrul Ependi Siregar tiba-tiba melakukan interupsi yang menyoal pergeseran anggaran yang diduga sudah dilakukan sampai tujuh kali tanpa diketahui Badan Anggaran DPRD Sumut.

Namun Bobby tampaknya tak menggubris materi interupsi itu, dan mengalihkan dengan bahasan lain, yakni  tentang tunjangan perumahan anggota DPRD Sumut, yang ramai disuarakan masyarakat.

Bobby kemudian mengatakan, pihaknya siap merevisi Pergub Tunjangan DPRD Sumut tentang tunjangan perumahan yang dianggap masyarakat begitu besar.

Dengan bantuan tim appraisal, diharapkan dapat diperoleh angka yang masuk akal, sehingga tunjangan ini bisa diterima oleh rakyat Sumut.

Selama ini, para wakil rakyat itu  menerimanya secara bervariasi, mulai dari untuk Ketua: Rp 60 juta per bulan, Wakil Ketua: Rp 51 juta per bulan dan anggota: Rp 40 juta per bulan. Ini mereka terima sesuai Peraturan Gubernur Sumut No 7 Tahun 2021, tunjangan perumahan.

Mendengar respon Bobby yang membalas dengan tunjangan rumah, sejumlah anggota DPRD Sumut pun langsung meminta interupsi.

Tiga anggota dewan, masing-masing Benny Sihotang, Gusmiyadi — keduanya dari Fraksi Gerindra — dan Landen Marbun dari Fraksi PDI P merespon, dengan mengatakan, tunjangan perumahan siap dikoreksi.

Berbeda dengan Landen, yang justru ‘menyerang balik’ Bobby, dengan mengatakan, siap direvisi, namun meminta Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) Pemprov Sumut ikut juga dikoreksi.

Landen menyontohkan jika TPP Sekda mencapai Rp 125 juta, TPP Inspektur Rp 77 juta dan TPP Kepala OPD di atas Rp 50 juta.

Sebelumnya, sejumlah dua anggota PRD Sumut HM Subandi (F-Gerindra) dan Fajri Akbar dari Fraksi Demokrat setuju tunjangan perumahan dikoreksi.

Subandi mengatakan, lembaga legislatif, setuju saja dilakukan revisi biaya sewa rumah dinas tersebut, dan mempersilahkan tim Appraisal (tim penilaian atau penaksiran nilai suatu objek) menghitung ulang, demi efesiensi, sebab penetapan tunjangan perumahan ini bukan ditentukan DPRD Sumut.

Senada, Fajri Akbar ketika ditemui Waspada.id pekan lalu, menambahkan, secara pribadi dirinya sependapat jika diwacanakan penghapusan tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Sumut, namun harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

Dia mengakui menerima tunjangan perumahan sebesar Rp 40 juta setiap bulan, belum dipotong pajak, yang digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan rumah, termasuk sewa rumah, dan pembelian kebutuhan sehari-hari.

Angka ini, imbuhnya lebih rendah dibanding dewan 2019-2024, yang menerima Rp 48 juta setiap bulannya, untuk kebutuhan yang sama.

Kritik

Menyikapi hal itu,  pengamat anggaran dan kebijakan publik Elfenda Ananda mengkritik besaran tunjangan perumahan anggota DPRD Sumut, yang dinilai terlalu tinggi dan perlu dievaluasi. 

Ia berpendapat bahwa tunjangan perumahan anggota DPRD Sumut, yang mencapai Rp 40 juta hingga Rp 60 juta per bulan, harus direvisi melalui Pergub Nomor 7 Tahun 2021 karena tidak relevan dengan kondisi fiskal daerah dan beban masyarakat. 

Ia menganjurkan agar tim appraisal melakukan penghitungan ulang dan mempertimbangkan efisiensi serta kepatutan dalam menentukan tunjangan, sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakan publik. 

Namun di sisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Independen Pemerhati Pembangunan Sumut Azhari AM Sinik juga memprotes TPP sebagai tambahan pendapatan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang pemberiannya dapat didasarkan pada capaian kinerja, disiplin, serta faktor objektif lainnya, seperti beban kerja dan kondisi tugas. 

TPP ini merupakan bagian dari kompensasi selain gaji pokok dan juga dikenal sebagai Tunjangan Kinerja (Tukin) di instansi pemerintah pusat. 

Kepada Waspada.id di Medan, Sabtu (20/9), Ari Sinik — sapaan Azhari AM Sinik — TPP itu menolak besaran tambahan penghasilan itu, karena secara kebijakan tidak begitu jelas aturan hukumnya.

Tambahan itu didasarkan pada beberapa peraturan yang berbeda, seperti Permendagri Nomor 6 Tahun 2021 untuk PPPK dan Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 yang mengatur pedoman penyusunan APBD 2025 termasuk TPP.

Selain itu, terdapat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 900-4700 Tahun 2020 yang mengatur tata cara persetujuan Menteri terhadap TPP bagi ASN di Pemda. 

Sehingga, lanjut Ari, TPP itu tidak memiliki payung hukum yang jelas, dan mendesak agar segera dievaluasi bahkan dihapus saja.

“Jumlah TPP itu nilainya mencapai ratusan miliar, hanya disalurkan  untuk menyenang-nyenangkan PNS, sebagai alat pemuas nafsu bagi mereka yang sudah tercukupi dengan gaji pokok, namun dikucurkan lagi dengan tambahan TPP,” katanya.

Ari juga mencontohkan peruntukan TPP ada yang disalahgunakan sejumlah oknum PNS untuk hal di luar konteks pencapaian kinerja.

“Saya dapat info ada PNS yang ngasi TPP untuk bini muda, sedangkan istri tua dapat gaji pokok saja, ini kan jadi peluang juga berbuat tidak patut,” katanya.

Dengan kondisi itu, Ari mengatakan, di satu sini dia mendukung koreksi atas Tunjangan Perumahan untuk DPRD Sumut, setelah DPR RI menyepakati menghentikan pemberian tunjangan perumahan terhitung sejak 31 Agustus 2025. 

Anggota DPR RI periode 2024-2029 menerima Rp 50 juta sebulan untuk 580 anggota dewan, sehingga setahun telah menghabiskan Rp 348 miliar.

Adapun DPRD Sumut 2024-2029 sebanyak 100 orang Rp 60 juta sebulan Rp 6 miliar dan per tahun Rp 72 miliar

Namun untuk TPP eksekutif, Ari menegaskan, jika tambahan penghasilan itu perlu segera dievaluasi urgensi manfaatnya, karena sifatnya hanya tambahan. 

“Karena itu tadi, kebermanfaatnya (TPP) menjadi subyektif, dan tidak jadi kewajiban sebagaimana tunjangan perumahan yang dialokasikan untuk memperbaiki rumah, beli alat alat rumahtangga, sewa pembantu yang  sangat membantu para anggota dewan menutupi biaya perumahan,” pungkasnya. (id23)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE