MEDAN (Waspada.id): Jaksa KPK tidak mencantumkan uang Rp2,8 miliar hasil penggeledahan di rumah dinas eks Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting.
Hal tersebut diketahui dalam persidangan perdana terdakwa Topan Ginting dan Rasuli Efendi Siregar dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (19/11/). Surat dakwaan keduanya disusun dalam satu berkas setebal 25 halaman.
Namun, dalam dakwaan terhadap Topan, KPK tidak memasukkan temuan uang tunai Rp2,8 miliar yang sebelumnya ditemukan saat penggeledahan di rumah dinas mantan Kadis PUPR Sumut tersebut beberapa waktu lalu.
Uang Rp2,8 miliar itu ditemukan saat penyidik KPK menggeledah rumah Topan di Perumahan Royal Sumatera, Cluster Topaz nomor 212, Medan Tuntungan, pada Rabu 2 Juli 2025.
Dalam penggeledahan yang berlangsung sekitar pukul 09.45 WIB tersebut, penyidik juga menyita dua pucuk senjata api, masing-masing satu pistol jenis Bareta lengkap dengan tujuh butir amunisi serta satu pucuk air softgun laras panjang beserta dua pak amunisinya.
Proses penggeledahan turut mendapat penjagaan ketat dari polisi bersenjata laras panjang yang berjaga di pintu masuk rumah.
Dalam dakwaannya, JPU menguraikan bahwa Topan Ginting dan Rasuli menerima uang masing-masing Rp50 juta yang diberikan oleh pihak kontraktor, yaitu Direktur PT Dalihan Na Tolu Grup Muhammad Akhirun Piliang serta Direktur PT Rona Na Mora Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang.
Selain itu, kedua pejabat tersebut juga menyepakati adanya janji commitment fee sebesar 5 persen dari nilai kontrak, dengan pembagian 4 persen untuk Topan dan 1 persen untuk Rasuli, sebagai imbalan atas pengaturan pemenang tender dua paket proyek jalan tersebut.
KPK menilai penerimaan uang dan janji fee ini menjadi dasar bahwa para terdakwa telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban jabatan.
Dakwaan juga memuat kronologi pertemuan-pertemuan yang dilakukan sejak Februari 2025 di sejumlah lokasi seperti Tong’s Coffee Medan, Kantor Dinas ESDM Sumut, Brothers Caffe, hingga Grand City Hall Medan, yang membahas pembagian fee dan teknis pengaturan pemenang tender melalui skema e-katalog.
Dalam salah satu pertemuan di Kantor Dinas ESDM Sumut, Topan disebut menyetujui pembagian commitment fee sebesar 5 persen untuk memastikan PT Dalihan Na Tolu Grup dan PT Rona Na Mora menjadi pemenang tender dua proyek besar tersebut.
KPK juga menguraikan adanya transfer uang kepada Rasuli sebesar Rp20 juta pada 30 April 2025 dan Rp30 juta pada 19 Juni 2025, serta pemberian uang tunai Rp50 juta kepada Topan pada 25 Juni 2025 yang diterima melalui ajudannya, Aldi Yudistira.
Selain itu, dakwaan menyoroti perubahan spesifikasi teknis material saluran beton dari tipe DS3 menjadi DS4 yang dilakukan setelah pertemuan di Brothers Caffe pada 24 Juni 2025. Perubahan spesifikasi ini disebut hanya dapat dipenuhi oleh dua perusahaan pemberi suap dan kemudian dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan oleh konsultan CV Balakosa untuk memastikan proyek tersebut jatuh ke perusahaan yang telah memberi fee.
KPK menyebut tindakan ini sebagai bentuk manipulasi spesifikasi yang bertentangan dengan kewajiban jabatan.
Tak hanya itu, Topan juga disebut menginstruksikan Rasuli untuk menayangkan dua paket pekerjaan tersebut ke sistem e-katalog pada 26 Juni 2025 dengan menggunakan istilah “mainkan” agar perusahaan tertentu dimenangkan.
Meski dokumen seperti HPS, spesifikasi teknis, dan Kerangka Acuan Kerja belum rampung, staf dinas tetap menginput paket tersebut ke SIRUP LKPP pada hari yang sama sebelum dilakukan negosiasi e-katalog hingga malam hari.
Dua proyek yang diatur dalam perkara ini adalah peningkatan struktur Ruas Sipiongot–Batas Labuhanbatu dengan pagu anggaran Rp96 miliar dan Ruas Hutaimbaru–Sipiongot di Kabupaten Padang Lawas Utara dengan pagu Rp69,8 miliar.
Proyek tersebut sebelumnya telah diusulkan Topan dalam perubahan APBD 2025 pada 12 Maret 2025 dan disetujui TAPD sehari kemudian, meskipun dinas belum memiliki dokumen perencanaan teknis yang lengkap. (id23)












