MEDAN (Waspada): Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara, Ahmad Sanusi Lukman, Lc (foto) menyampaikan pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.
Sanusi menyampaikan, hal ini sesuai hasil Ijtima Ulama VIII di Bangka Belitung belum lama ini yang sangat banyak mendapat sorotan adalah tidak diperbolehkannya salam lintas agama.
Ia menjelaskan,Kamis(6/6) meski ketika fatwa dikeluarkan ada perbedaan pendapat, namun pendapat yang rojih dan yang membawa kemaslahatan adalah ketidak bolehannya. Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Sanusi merujuk kepada hasil fatwa dan penjelasan Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Niam mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah.
“Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampur adukkan dengan ucapan salam dari agama lain. Oleh sebab itu, pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Sebab, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan atau moderasi beragama yang dibenarkan,”sebutnya.
Lanjut Sanusi, dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi.
Tentang Haji
Pada kesempatan tersebut ia juga menjelaskan terkait pelaksanaan ibadah haji khusunya ketika murur di muzdalifah meski tidak menjadi pelemik namun ini sangat penting mengingat pelaksanaan haji sedang berlangsung dan umat Islam sedunia akan melaksanakan mabit.
Dalam Ijtima tersebut diputuskan bahwa Mabit di Muzdalifah adalah termasuk wajib haji. Jamaah haji yang tidak mabit di Muzdalifah wajib membayar dam, sebagai denda atas kesalahan (dam isa-ah). Mabit di Muzdalifah dilakukan dengan cara melakukan kegiatan
berdiam diri di Muzdalifah, meskipun hanya sesaat saja dalam ku
run waktu setelah pertengahan malam tanggal 10 Dzulhijjah.
Hukum jamaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan menuju Mina tanpa berhenti (Murur), dirinci sebagai berikut:
a. jika murur (melintas) di Muzdalifah dilakukan selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak di kawasan Muzdalifah, maka sudah sah dan dihitung mabit, meski tanpa turun dari kendaraan, dan tidak diwajibkan membayar dam.
b. jika murur dilakukan sebelum tengah malam dan/atau berdiam meninggalkan muzdalifah sebelum tengah malam, maka tidak sah dan belum dihitung mabit. Jika hal itu dilakukan, maka wajib membayar dam.
Kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ini digelar pada 28-31 Mei 2024 dengan mengangkat tema tentang Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat.
Kegiatan ini diikuti oleh 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa Ormas Islam Tingkat Pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas Syariah perguruan tinggi keIslaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.
Kegiatan ini juga dibuka oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Sebelum pembukaan, hadir sejumlah tokoh untuk memberikan materi pengayaan terkait tema pembahasan Ijtima antara lain Ketua Baznas Prof Noor Ahmad, Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Dirjen Pengelolaan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama RI Prof Hilman Latief, Staf Ahli Menteri Luar Negeri RI Bidang Hubungan Antar Lembaga Muhsin Syihab, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 KH Jusuf Kalla serta Ketua Umum KADIN Arsjad Rasjid.(m22)