Medan

Underpass HM Yamin, Kontraktor Pembuka Tabir Permainan Proyek

Underpass HM Yamin, Kontraktor Pembuka Tabir Permainan Proyek
Hasil audit BPK wajib dilimpahkan kepada aparat penegak hukum. Kejaksaan maupun KPK harus mengusut kasus dugaan korupsi pembangunan proyek multi years Underpass HM Yamin Medan secara transparan.Waspada.id/Ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Temuan hasil audit BPK RI Perwakilan Sumut atas proyek multi years, pembangunan Underpass HM Yamin Medan, yang menaksir kerugian negara mencapai miliaran harus diusut tuntas.

‘’Kontraktor bisa dijadikan pembuka tabir permainan proyek,’’ ungkap pengamat anggaran dan kebijakan public, Elfenda Ananda diminta tanggapan Waspada.id, Sabtu (22/11/2025).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Elfenda menegaskan kontrol dan pengawasan DPRD Medan selama Wali Kota Medan dijabat Bobby Nasution yang merupakan menantu Presiden Joko Widodo tidak berjalan.

‘’DPRD sekarang jangan diam saja, karena selama kepemimpinan Bobby Nasution, DPRD diam. Harusnya audit BPK ini menjadi alat untuk melaporkan kasus proyek multi years,’’ ucapnya.

Elfenda pun menyayangkan bahwa proyek pembangunan Underpass HM Yamin di Kecamatan Medan Timur yang diresmikan pada 25 Januari 2025 dengan anggaran APBD Kota Medan sebesar Rp163 miliar malah menjadi temuan BPK RI.

Proyek ini merupakan salah satu pekerjaan multi years 2022–2023, satu kelompok dengan Revitalisasi Lapangan Merdeka, Stadion Teladan, UMKM Square, dan Islamic Center. Seluruh proyek tersebut dikerjakan pada masa Wali Kota Bobby Nasution dengan Dinas SDABMBK yang saat itu dipimpin oleh Topan Ginting.

Elfenda pun menyebut, temuan BPK RI atas proyek multi years, terutama Underpass HM Yamin, menunjukkan adanya kekurangan volume pekerjaan dan penggunaan material yang tidak sesuai spesifikasi. Sebagai tindak lanjut, Pemko Medan menahan pembayaran kepada kontraktor sebesar Rp17 miliar.

‘’Proyek-proyek multi years “ikon Kota Medan” memang berada di bawah tekanan untuk cepat selesai, baik karena target masa jabatan wali kota maupun dinamika politik jelang Pilkada Serentak kala itu,’’ ujarnya.

Tekanan percepatan inilah yang mendorong praktik “resmikan dulu, selesaikan belakangan”, sebagaimana terlihat pada proyek Lapangan Merdeka yang belum rampung namun telah diresmikan. ‘’Lebih ironis lagi, tidak terdengar adanya uji kelayakan bangunan secara independen,’’ herannya.

Sejak awal, kata Elfenda, proyek Underpass HM Yamin sudah layak dipertanyakan dari sisi teknis yang belum teruji, secara fungsi dan manfaat publik. Anggarannya besar, tetapi manfaatnya tidak sebanding dengan dampak yang diharapkan terhadap kelancaran lalu lintas.

‘’Bahkan, underpass tersebut kerap tergenang saat hujan deras dan justru menghambat arus kendaraan,’’ jelasnya.

Elfenda mengatakan bahwa temuan BPK RI ini bukan sekadar angka. Polanya serupa pada hampir semua proyek multi years Kota Medan: anggaran besar, rendahnya transparansi, kekurangan volume, material tidak sesuai spesifikasi, serta tekanan percepatan yang mengulang pola kasus proyek jalan di Sumut, tempat Topan terkena OTT.

‘’Lemahnya pemeriksaan mutu, toleransi terhadap kekurangan volume, serta adendum yang terlalu fleksibel menambah bukti bahwa masalah ini bukan insidental, melainkan sistemik,’’ ungkapnya.

Kewenangan wali kota terhadap proyek-proyek besar ini sangat dominan dan operasionalnya dipercayakan kepada Kepala Dinas SDABMBK, Topan. Namun kontrol internal terbukti lemah dan manajemen proyek kacau.

Banyaknya masalah di lapangan menunjukkan pola penyimpangan berulang antar proyek multi years. ‘’Kekurangan volume tidak mungkin terjadi tanpa “persetujuan” internal,’’ tegasnya.

Material tak sesuai spesifikasi pun tidak mungkin lolos tanpa keterlibatan pengawas lapangan, PPK, konsultan pengawas, dan pejabat penerima hasil pekerjaan. ‘’Dengan kata lain, terdapat moral hazard di dalam struktur pengawasan,’’ ujarnya.

Elfenda juga menyorot pembayaran yang hampir penuh sebelum kualitas benar-benar terjamin juga mengulang pola serupa dalam kasus lampu “Pocong” di Kota Medan: proyek dibayar terlebih dahulu, kemudian dipotong, uang dikembalikan bila ditemukan masalah.

‘’Dalam banyak kasus korupsi konstruksi, pola ini digunakan untuk menampilkan seolah-olah proyek telah selesai meski mutunya buruk,’’ jelasnya.

Karena itu, lanjut Elfenda, proyek-proyek multi years Kota Medan yang bernilai besar dan menjadi temuan BPK—including Underpass HM Yamin—harus diusut tuntas.

‘’Jika hanya satu proyek yang bermasalah, mungkin dapat dianggap sebagai kesalahan teknis. Namun ketika seluruh mega proyek memperlihatkan pola yang sama, ini adalah persoalan sistemik,’’ ujarnya.

Oleh karena itu, temuan BPK RI signifikan dan tidak bersifat administratif semata, sehingga membutuhkan penanganan serius dan tindak lanjut menyeluruh.

‘’Hasil audit BPK wajib dilimpahkan kepada aparat penegak hukum. Kejaksaan maupun KPK harus mengusut kasus ini secara transparan,’’ sebutnya.

PPK, kontraktor, konsultan pengawas, serta penanggung jawab proyek—termasuk kepala dinas dan wali kota—harus diperiksa atas dugaan kelalaian atau penyimpangan selama pekerjaan berlangsung.

Pemeriksaan struktur fisik harus dilakukan ulang oleh pihak independen, mengingat hampir tidak pernah ada uji kelayakan fisik yang benar-benar terbuka untuk publik pada mega proyek di Kota Medan,’’ demikian Elfenda Ananda, peneliti di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara ini menegaskan.

Seperti diketahui, BPK RI melakukan audit terhadap pekerjaan yang dikerjakan menggunakan anggaran multi years tahun 2023 oleh Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi (SDABMBK) Kota Medan era Topan Ginting (Eks Kadis PUPR Sumut-terdakwa kasus korupsi Jalan . Proyek tersebut diketahui menghabiskan anggaran hampir Rp170 miliar.

Kadis SDABMBK Kota Medan, Gibson Panjaitan dikonfirmasi wartawan, Kamis (20/11/2025) menyebut Pemko masih menahan uang kontraktornya Rp17 miliar lebih. ‘’Tuntutan Ganti Rugi (TGR)nya sebagian sudah dibayar dan akan dipotong langsung sisanya saat tagihan mereka bulan ini berjalan sesuai audit BPK,’’ cetusnya.

Gibson menyebut ketidaksesuaian dibebankan kepada TGR yang harus dibayarkan penyedia, dan merupakan tanggungjawab penyedia, dan langsung dipotong dari sisa tagihan yang mau dibayarkan dalam waktu dekat. ‘’Namun sebelumnya sebagian TGR sudah ada dibayar pihak penyedia,’’ jelasnya.

Diketahui, BPK juga menemukan adanya denda keterlambatan pekerjaan yang mencapai Rp1,3 miliar. Denda tersebut dikenakan kepada pihak pelaksana, PT GMP, akibat pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu.(id96)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE