Medan

Urgen Status Bencana Nasional

Urgen Status Bencana Nasional
Farid Wajdi. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Perdebatan mengenai status bencana nasional untuk banjir dan longsor di Sumatera sudah terlalu lama tersandera oleh kalimat-kalimat birokratis dan tafsir sempit atas pasal-pasal.

Situasi di lapangan tidak menunggu sidang, rapat koordinasi, atau konsultasi antar-lembaga. Rumah hilang, jembatan putus, warga terisolasi, dan layanan publik rontok. Pada titik ini, keputusan seharusnya ditentukan oleh nurani, bukan oleh kalkulasi administratif.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Demikian antaranya disoroti oleh Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Kamis (4/12).

Disebutkan, pejabat pusat masih bergumul dengan istilah teknis, sementara beberapa kepala daerah sudah mengibarkan bendera putih. Warga hidup dua pekan di genangan berlumpur dengan stok logistik menipis, namun sebagian elite masih berbicara dengan nada yang tidak sinkron dengan fakta lapangan. Ada yang menyebut situasi “cukup terkendali”.

Ada yang menyinggung “kesan media sosial”. Sikap seperti ini memperlihatkan betapa jauhnya menara kekuasaan dari denyut derita rakyat.

Kapasitas daerah jelas kolaps. Akses darat terputus, puskesmas tak beroperasi, distribusi pangan tersendat, dan ribuan warga bertahan hanya dengan sisa-sisa daya hidup. Ketika tata kelola lokal telah kehilangan fungsi, pemerintah pusat seharusnya tidak menunggu indikator administratif lain untuk bergerak penuh.

Status bencana nasional bukan hadiah dan bukan pula pengakuan kekalahan daerah. Status tersebut merupakan instrumen konstitusional untuk menyelamatkan nyawa, dan penundaan hanya memperluas luka.

Pertanyaan publik semakin tajam ketika mendengar anggaran penanggulangan bencana merosot ke titik paling minimal dalam banyak tahun.

Di tengah meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem, pemotongan anggaran seperti ini tampak tidak masuk akal. Kekosongan penjelasan membuka ruang spekulasi: apakah negara sedang berkutat dengan prioritas fiskal lain yang lebih politis daripada menyelamatkan warganya? Ketika pemerintah lambat merespons, publik wajar bertanya: apa yang sebenarnya menghambat?

Perbandingan global memperlihatkan fakta mencolok. Filipina, Thailand, Sri Lanka, Jepang: semuanya memiliki mekanisme yang otomatis mengalihkan kendali ke tingkat nasional ketika daerah tumbang. Tidak ada tarik-ulur politik. Tidak ada kekhawatiran citra. Tidak ada kalkulasi elektoral. Negara-negara itu memahami bahwa keselamatan warga jauh lebih penting dibanding pertimbangan sempit di ruang-ruang kekuasaan.

Di Indonesia, respons justru kerap berkelindan dengan panggung politik. Kunjungan pejabat ke lokasi bencana dipenuhi kamera. Pencitraan menenggelamkan kehadiran negara yang seharusnya total. Alih-alih menyederhanakan birokrasi, sebagian elite masih sibuk merawat persepsi. Sementara itu, warga menunggu air bersih, makanan, dan jaminan keselamatan.

Presiden, DPR, MPR, semuanya memiliki kewenangan besar untuk memotong hambatan, mempercepat operasi, dan mengambil alih kendali penyelamatan. Bencana berskala besar membutuhkan keberanian moral, bukan sekadar ketelitian membaca undang-undang.

Tidak ada pasal yang lebih tinggi dari hak hidup rakyat. Tidak ada ayat dalam birokrasi yang lebih luhur dari kewajiban negara melindungi warganya saat mereka berada di tepi kehancuran.

Sumatera tidak membutuhkan perdebatan panjang. Sumatera membutuhkan negara yang hadir penuh. Penetapan status bencana nasional tidak boleh terjebak sebagai diskusi prosedural. Keputusan itu adalah deklarasi empati dan tanggung jawab. Ketika nyawa manusia bergantung pada waktu, keraguan politik hanya menambah korban.

Saat ini, pilihan sudah sangat jelas: bergerak cepat atau membiarkan rakyat menghadapi bencana sendirian! (id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE