MEDAN (Waspada.id): Penolakan terhadap rencana tambang PT DPM di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, kembali menguat. Masyarakat terdampak, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta para ahli lingkungan mengecam keras dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terbaru yang diajukan perusahaan tersebut.
Siaran pers yang diterima Waspada.id di Medan, Kamis (18/12), mereka menilai AMDAL baru itu sarat kejanggalan, tidak transparan, dan berpotensi membahayakan lingkungan serta keselamatan warga, sehingga mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan investigasi.
Penolakan ini muncul setelah adanya pencabutan Persetujuan Lingkungan DPM oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 21 Mei 2025. Pencabutan tersebut dilakukan menyusul putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin lingkungan tambang DPM yang sebelumnya diterbitkan pada tahun 2022.
Putusan tersebut menjadi kemenangan hukum bagi masyarakat Dairi yang selama bertahun-tahun menolak rencana tambang seng dan timbal di wilayah yang dikenal rawan bencana geologi.
Namun, harapan warga agar aktivitas tambang dihentikan sepenuhnya kembali diuji ketika DPM mengajukan Adendum AMDAL yang baru. Dokumen ini dinilai tidak hanya mengabaikan putusan pengadilan, tetapi juga mengulang berbagai persoalan mendasar yang sebelumnya telah dikritik oleh para ahli independen.
Rencana Pengelolaan Limbah Dinilai Tidak Masuk Akal
Salah satu poin paling krusial dalam Adendum AMDAL terbaru adalah rencana perusahaan untuk tidak membangun bendungan tailing di permukaan tanah. DPM menyatakan akan mencampur seluruh limbah tambang dengan semen dan memompanya kembali ke dalam lubang tambang bawah tanah sebagai material pengisi (backfill).
Rencana tersebut dinilai mustahil secara teknis. Ahli geologi dan hidrologi internasional, Dr. Steven Emerman, yang telah berulang kali meninjau dokumen AMDAL DPM, menyebut bahwa secara ilmiah dan berdasarkan praktik pertambangan global, klaim tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Material tambang akan mengalami pertambahan volume setelah diekstraksi dan diolah. Dalam standar industri, hanya sekitar 50 hingga 60 persen tailing yang dapat dikembalikan ke tambang bawah tanah. Sisanya pasti harus dibuang ke permukaan,” ujar Emerman.
Ia memperingatkan bahwa pada akhirnya DPM tetap harus membangun bendungan tailing untuk menampung jutaan ton limbah. Menurut perhitungannya, bendungan tersebut berpotensi menampung sekitar 2,5 juta ton tailing berbahaya. “Setiap bendungan tailing di wilayah Dairi tidak akan aman, mengingat kondisi geologi dan kerawanan bencana di daerah itu,” tegasnya.
Kekhawatiran Warga Dairi
Kekhawatiran tersebut sejalan dengan suara masyarakat setempat. Susandi Panjaitan, warga Desa Pandiangan yang juga menjadi salah satu penggugat izin lingkungan sebelumnya, menyatakan bahwa pencabutan Persetujuan Lingkungan DPM sempat memberi kelegaan bagi warga.
“Sangat melegakan ketika izin itu dicabut. Tapi sekarang mereka kembali dengan rencana baru yang tetap mengancam kehidupan, air, dan pertanian kami,” ujarnya.
Warga juga mengeluhkan minimnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan Adendum AMDAL terbaru. Menurut mereka, diskusi hanya dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak memahami risiko tambang. “Kami tidak pernah diajak berdiskusi secara terbuka dan bermakna,” tambah Susandi.
LSM Soroti Rekam Jejak dan Peran Pemerintah
Direktur Badan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Juniaty Aritonang, menegaskan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup seharusnya tidak lagi memproses usulan baru dari DPM. Ia menilai perusahaan tersebut telah berulang kali mengabaikan masukan ahli dalam beberapa versi dokumen AMDAL sebelumnya.
“Para ahli sudah menyatakan bahwa bendungan tailing yang direncanakan berisiko jebol dan bisa mengirim banjir limbah beracun ke desa-desa. Namun, peringatan ini selalu diabaikan,” katanya.
Juniaty juga menyoroti rekam jejak perusahaan induk pemilik saham mayoritas DPM yang berbasis di Tiongkok. Perusahaan tersebut, menurutnya, pernah terlibat dalam sejumlah insiden bendungan tailing di berbagai negara, termasuk bencana besar di Zambia yang menyebabkan aliran limbah beracun sepanjang ratusan kilometer sungai.
“Kami tidak ingin Sumatera Utara mengalami bencana serupa,” tegasnya.
Dugaan Pelanggaran Prosedur AMDAL
Selain substansi AMDAL, proses penyusunannya juga menuai kritik tajam. Penasehat hukum warga terdampak dari BAKUMSU, Nurleli Sihotang, menyatakan pihaknya tidak diundang dalam sidang Komisi AMDAL Nasional yang digelar pada 27 November 2025.
Padahal, BAKUMSU selama ini bertindak sebagai kuasa hukum masyarakat terdampak. “Undangan hanya diberikan kepada sejumlah LSM lokal, itupun dua hari sebelum rapat. Ini bertentangan dengan aturan yang mewajibkan pemberitahuan minimal lima hari,” katanya.
Kritik serupa disampaikan Monica Siregar dari YDPK, LSM berbasis di Dairi. Ia menilai rapat tersebut tidak dapat disebut sebagai konsultasi AMDAL yang sah. “Kami melihat ada upaya untuk menghindari masukan yang serius dan kritis,” ujarnya.
Pengaduan ke PBB
Merasa upaya hukum dan administratif di dalam negeri tidak dijalankan secara adil, masyarakat Dairi melalui BAKUMSU telah mengajukan pengaduan ke Prosedur Khusus PBB. Pengaduan tersebut ditujukan kepada Pelapor Khusus PBB tentang Bahan Beracun serta Kelompok Kerja PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
“Kami berharap PBB, sebagai otoritas hak asasi manusia tertinggi di dunia, dapat menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi,” kata Juniaty.
Ia juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk secara terbuka mengundang para Pelapor Khusus PBB melakukan penyelidikan langsung. “Jika pemerintah tidak memiliki apa pun yang perlu disembunyikan, seharusnya tidak takut pada transparansi,” pungkasnya.
“Kami berharap PBB menyelidiki kasus ini dan mendorong transparansi,” kata Juniaty.
Sejauh ini, PT DPM belum memberikan keterangan soal dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terbaru yang diajukan perusahaan tersebut. (id06)











