MEDAN (Waspada): Warning (peringatan) saja belum cukup, tetapi Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perlu bertindak cepat demi memberi rasa aman pada masyarakat.
Hal ini disampaikan Farid Wajdi (foto) selaku Founder Ethics of Care, Kamis (20/10) terkait pemberitaan BPOM awasi peredaran obat sirup.
Kata Farid Wajdi, diperlukan langkah cepat Badan POM dalam pengawasan secara komprehensif baik pre-dan post-market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia.
“Kehebohan akibat banyaknya anak meninggal karena gagal ginjal misterius harus mendapat perhatian dan tindakan serius baik dari Kementerian Kesehatan maupun para dokter anak,” ujarnya.
Selain itu, kata Farid, instansi terkait harus dapat mencari sumber penyebab kematian anak sekaligus mencari solusi cepat agar korban tidak terus berjatuhan.
Belum tuntas dan bahkan masih membayangi ekses Covid-19 kini sudah pula muncul penyakit gagal ginjal yang korbannya dominan anak-anak.
Menurutnya, Badan POM tentu tidak cukup mengeluarkan warning kepada publik, tetapi juga segera melakukan evaluasi terhadap semua obat-obatan, khususnya lagi yang berkaitan dugaan adanya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan.
Padahal sambung dia, menurut pernyataan Badan POM, sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG.
Bahkan Badan POM telah menetapkan pula batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar internasional.
“Pertanyaan publik, jika Badan POM telah secara ketat membuat peraturan dan persyaratan semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, bahwa tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG, mengapa masih terdapat dugaan cemarannya pada produk obat sirup tersebut? ujarnya.
Farid menambahkan, siapa yang patut dipersalahkan dan dimintai pertanggungjawaban?
Apakah berkaitan kelalaian dalam proses pre-market atau pengawasan post-market?
Pasti ada kekeliruan dalam proses itu, tidak mungkin ada produk bermasalah tanpa ada penyebabnya. Penyebab tentu bukan dari langit, sehingga kepastian atas kekeliruan yang ada harus segera diatasi.
Faktor Kunci
Farid menyebutkan, faktor kunci dalam evaluasi dan penelusuran dugaan penyebab cemaran pada zat pelarut tambahan obat adalah cepat, tepat, akuntabilitas, terbuka dan jujur.
Dalam situasi ini tidak perlu saling menyalahkan, tetapi langkah terukur dan koordinasi yang baik antar-pemangku kepentingan sangat diperlukan.
“Kebijakan yang ada harus dalam perspektif perlindungan anak dan korban. Korban harus diminimalkan dan solusi harus segera dapat ditemukan! Karena itu semua pihak harus saling membahu dan sekaligus memberi informasi yang benar dan jujur kepada publik,” ujarnya.
Pengawasan Masyarakat
Hal lain disampaikannya, patut untuk diketahui Kemenkes telah menginstruksikan agar apotek maupun tenaga kesehatan di Indonesia untuk sementara ini tidak menjual atau meresepkan obat bebas dalam bentuk cair atau sirup kepada masyarakat.
“Upaya itu dilakukan sebagai kewaspadaan atas temuan gangguan ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia,” sebutnya.
Disebutkannya, Kemenkes meminta seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas atau bebas terbatas dalam bentuk cair atau sirup kepada masyarakat sampai hasil penelusuran yang dilakukan Kemenkes dan BPOM tuntas.
“Instruksi tersebut harus diawasi pelaksanaannnya dan publik harus diberi informasi yang utuh,” pungkasnya.(m22)