Jakarta (ANTARA) – Harga beras yang terus bertahan tinggi di pasar, seolah menjadi tantangan tanpa ujung bagi pemerintah.
Berbagai kebijakan telah digulirkan, mulai dari operasi pasar besar-besaran, hingga penyaluran beras dari stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ke berbagai daerah, namun dampaknya belum sepenuhnya memenuhi harapan.
Masyarakat menunggu turunnya harga beras, sementara pemerintah berusaha menjaga keseimbangan antara ketersediaan stok, perlindungan konsumen, dan keberlanjutan produksi.
Di sisi lain, panen raya yang baru saja usai, sebenarnya membawa kegembiraan bagi para petani. Pemerintah telah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram untuk gabah kering panen (GKP), tanpa memandang kualitas kadar air dan kadar hampa.Kebijakan ini memberi jaminan pasar bagi petani, karena apa pun kualitas gabahnya, pemerintah siap menampungnya.Pada titik ini, petani memiliki kepastian pendapatan, setidaknya dari hasil panen mereka, namun kebijakan tersebut ternyata belum cukup untuk menahan laju kenaikan harga beras di pasaran.
Beras adalah komoditas strategis yang menyentuh aspek ekonomi, politik, dan sosial sekaligus. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beras merupakan “nyawa kehidupan” sebagian besar masyarakat Indonesia.Pemerintah tentu tidak dapat berspekulasi terhadap ketersediaan dan harga beras, karena gejolak kecil saja bisa memicu dampak luas terhadap stabilitas sosial dan ketahanan pangan nasional.Di sinilah muncul pertanyaan mendasar, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan ketika harga beras meroket? Apakah benar petani memperoleh bagian terbesar dari kenaikan harga tersebut, ataukah justru pihak-pihak lain, seperti pemilik penggilingan padi, para bandar, dan tengkulak yang menikmati nilai tambah ekonomi paling besar?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun petani bekerja keras menghasilkan gabah, mereka jarang mendapat kesempatan untuk menikmati keuntungan penuh dari hasil panennya.Sebagian besar petani padi menjual hasil panen dalam bentuk gabah, bukan beras. Gabah adalah milik petani, tetapi beras, dalam praktiknya, dikuasai oleh pedagang.Petani tidak memiliki kapasitas teknologi maupun modal untuk mengolah gabah menjadi beras yang siap jual.Akibatnya, rantai nilai dalam agribisnis perberasan timpang, nilai tambah ekonomi terbesar berada di sisi hilir, pada tahap pengolahan dan distribusi.
Padahal, harga beras di pasaran relatif dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan harga gabah. Berdasarkan kesepakatan Badan Pangan Nasional dan pengusaha penggilingan padi, harga gabah kering panen di tingkat petani saat ini dipatok Rp4.550 per kilogram, sementara harga beras medium di gudang Bulog mencapai Rp9.000 per kilogram.Selisih ini menggambarkan betapa besar potensi pendapatan yang hilang di tingkat petani karena mereka tidak memiliki kendali atas rantai nilai tersebut.
Petani beras
Untuk menjembatani kesenjangan ini, perlu ada kebijakan yang mendorong lahirnya “petani beras”, alih-alih sekadar “petani gabah”.
Konsepnya sederhana, namun mendasar, bahwa petani harus memiliki kapasitas untuk menjual hasil panennya dalam bentuk beras, bukan hanya gabah mentah.Pemerintah dan lembaga terkait dapat memfasilitasi akses petani terhadap teknologi pengolahan pascapanen, misalnya melalui bantuan mesin penggilingan padi skala kecil yang diberikan kepada kelompok tani atau gabungan kelompok tani (gapoktan).
Jika langkah ini dilakukan secara masif, petani tidak hanya akan menjadi produsen bahan baku, tetapi juga pengolah, sekaligus pedagang. Dengan demikian, petani memperoleh nilai tambah ekonomi yang signifikan dan kesejahteraan mereka akan lebih terjamin.Selain dukungan infrastruktur teknologi, aspek pengetahuan dan keterampilan bisnis menjadi kunci penting. Selama ini, paradigma petani subsisten masih mendominasi, di mana mereka hanya berfokus pada produksi, tanpa mempertimbangkan aspek pemasaran dan manajemen usaha.
Perlu ada transformasi menuju pola pikir baru yang membentuk petani sebagai pengusaha. Penyuluhan pertanian harus direvitalisasi, bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga mengajarkan petani memahami rantai pasok, strategi penentuan harga, dan negosiasi pasar.Penyuluh pertanian harus mampu membekali petani dengan keterampilan wirausaha, sehingga mereka tidak sekadar memproduksi, tetapi juga mengelola, memasarkan, dan mengendalikan hasil panennya. Program penyuluhan pertanian yang efektif akan menjadi katalis perubahan struktural di sektor ini.
Transformasi ini juga menuntut adanya sinergi kebijakan lintas sektor. Teknologi informasi dan digitalisasi harus dimanfaatkan untuk memperpendek rantai distribusi.Akses terhadap pasar daring, sistem logistik berbasis aplikasi, serta integrasi data antara petani, penggilingan, Bulog, dan konsumen akan membuat distribusi beras lebih efisien dan transparan.Ketika petani memiliki akses langsung ke konsumen melalui platform digital, posisi tawar mereka meningkat, sementara ketergantungan pada tengkulak berkurang.
Ekosistem usaha taniSelain itu, pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam memastikan ekosistem usaha tani beras berjalan berkesinambungan, mulai dari penyediaan infrastruktur dasar, hingga regulasi tata niaga beras di tingkat lokal.Namun, upaya meningkatkan kesejahteraan petani tidak cukup berhenti pada penyediaan alat dan pengetahuan.Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kenaikan produksi pertanian selama beberapa tahun terakhir tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan petani.
Nilai tukar petani (NTP) untuk petani padi cenderung stagnan, menandakan bahwa kenaikan hasil produksi tidak sejalan dengan peningkatan daya beli.Di sinilah urgensi intervensi kebijakan yang lebih komprehensif, di mana pemerintah tidak hanya berfokus pada aspek produksi, tetapi juga pada struktur pasar dan distribusi keuntungan.Pendekatan ini menempatkan petani sebagai aktor utama dalam rantai pasok pangan, bukan sekadar pemasok bahan baku.Petani masa depan harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Kemajuan teknologi dan dinamika pasar global menuntut pola pikir baru dalam bertani.
Pertanian tidak lagi semata mengejar target swasembada, tetapi harus berorientasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan petani sebagai prioritas utama.Ketahanan pangan nasional akan lebih kuat jika petani memiliki posisi tawar yang setara dalam rantai nilai.Upaya menciptakan “petani beras” bukan hanya soal meningkatkan pendapatan, tetapi juga memperbaiki struktur agribisnis Indonesia agar lebih adil dan berkelanjutan.
Jika langkah-langkah strategis ini dijalankan secara konsisten, jargon “petani sejahtera” bukan lagi sekadar hiasan pidato pejabat, melainkan kenyataan yang dapat dirasakan di lapangan.Mewujudkan petani sebagai produsen, sekaligus pengolah dan pedagang beras akan mengubah wajah pertanian Indonesia secara fundamental.Transformasi ini membutuhkan komitmen semua pihak, termasuk pemerintah, penyuluh, pengusaha, dan masyarakat.
Ke depan, kesejahteraan petani tidak boleh lagi menjadi impian semu, melainkan hasil nyata dari keberpihakan kebijakan, pemanfaatan teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.Dengan demikian, petani tidak lagi hanya memiliki gabah, tetapi juga beras, dan yang lebih penting, masa depan yang lebih sejahtera. (Antara)


















