JAKARTA (Waspada): Lima organisasi profesi kesehatan mendesak DPR segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang/RUU Kesehatan omnibus law. Tuntutan ini mereka sampaikan saat demo di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (5/6).
“Di dalam pembahasan RUU (Kesehatan) masih banyak substansi yang tidak atau yang belum masuk,” ujar Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi saat aksi.
Ia pun menjelaskan sejumlah alasan mengapa pihaknya menolak RUU tersebut.
- Tanpa kepastian hukum organisasi profesi
RUU Kesehatan dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan dan apoteker. Dalam RUU ini, 9 undang-undang yang terkait keprofesian dan kesehatan dihilangkan.
Adapun 9 RUU ini adalah UU No. 4/1984 tentang wabah kesehatan menular, UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU No. 36/2004 tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38/2014 tentang Keperawatan, UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU No. 4/2009 tentang Kebidanan.
Adib menilai penghapusan undang-undang yang secara khusus atau lex specialis mengatur tentang keprofesian itu akan berdampak pada kepastian hukum profesi. Ia menganggap RUU itu belum bisa menjamin perlindungan dan kepastian hukum tenaga medis atau kesehatan.
“Pertama, berkaitan dengan profesi, ada pasal-pasal dalam RUU ini belum memenuhi unsur-unsur perlindungan dan kepastian hukum kepada tenaga medis/kesehatan,” ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi. Dia mengungkapkan muatan RUU itu tidak memberikan kepastian terkait kontrak kerja bagi tenaga medis dan kesehatan.
“Belum tampak perbaikan dari perlindungan (hukum) bagi tenaga medis dan kesehatan dalam hal kontrak kerja, sebagaimana UU existing yang seharusnya cukup dibuat peraturan perundang-undangan pada tingkat di bawahnya yang lebih spesifik,” ujarnya.
- Hapus pembiayaan tenaga kesehatan
Adib menganggap RUU ‘Sapu Jagat’ itu telah menghapuskan anggaran pembiayaan nakes yang sebelumnya sebesar 10 persen tertuang dalam APBN dan APBD.
“Kemudian berkaitan dengan mandatory spending (pembiayaan oleh negara) anggaran yang sebelumnya ada di kesehatan, sudah diusulkan di RUU yang dibuat oleh badan legislatif, 10 persen untuk APBN dan APBD tapi kemudian dihilangkan oleh pemerintah,” ujar Adib.
- Penyusunan RUU tidak transparan
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah menyebut dalam proses penyusunan hingga pembahasan RUU Kesehatan, kelima organisasi profesi sebagai pemangku kepentingan (stakeholders) tidak dilibatkan. Bahkan menurutnya cenderung tak didengar.
“Seruan para tenaga medis dan kesehatan akan RUU Kesehatan seperti angin lalu bagi pemerintah, sebagaimana terjadi sebelumnya dalam pembuatan UU Cipta Kerja yang tidak transparan,” ujarnya.
- Risiko impor nakes asing
Dalam Pasal 235 RUU Kesehatan disebut memperbolehkan dokter asing untuk berkarya di rumah sakit Indonesia.
Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Usman Sumantri menilai ‘impor’ tenaga kesehatan asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
Ia pun mengatakan seharusnya pemerintah lebih mengutamakan tenaga kesehatan dalam negeri demi pemerataan pelayanan kesehatan.
“Pemerataan pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan mengoptimalkan peran dan kemampuan dari tenaga medis/tenaga kesehatan yang ada di Indonesia,” ujarnya.
“Sehingga perlu dipertimbangan apakah pemanfaatan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri misalnya dalam kemudahan perizinan, kemudahan warga negara asing dalam mengikuti pendidikan spesialis di Indonesia tidak akan membawa dampak negatif,” imbuhnya.
- Aborsi diperbolehkan 14 minggu
Adib mengatakan pasal terkait aborsi dalam RUU Kesehatan dapat berpotensi meningkatkan angka kematian.
Sebelumnya, pasal aborsi mengatur maksimal 8 minggu. Akan tetapi, menurutnya, dalam RUU ini aborsi diperbolehkan hingga 14 minggu.
“Berkaitan dengan kepentingan rakyat. Beberapa hal yang belum jadi perhatian, aborsi yang 14 minggu, yang bukan tak mungkin akan meningkatkan angka kematian ibu,” ujarnya.
- Pembahasan RUU terkesan dikebut
Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria menilai pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru untuk disahkan.
“Draf itu kalau teman-teman ingat, baru dideklarasikan ini adalah inisiatif pemerintah di bulan Februari. Sekarang sudah di bulan Juni, kenapa ingin dipaksakan di bulan Juli,” ujarnya.
Sebelumnya, DPR menetapkan RUU Kesehatan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) pada Februari 2023.
Kemudian, melalui surat No. B/3303/LG.01.01/3/2023 draf itu diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 7 Maret 2023. Jokowi menunjuk wakil pemerintah untuk membahas RUU tersebut pada 9 Maret 2023.
Pada 5 April 2023 Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan kepada DPR untuk dibahas.
Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria mengaku mendapatkan bocoran informasi terkait pengesahan RUU Kesehatan. “Kita dengar akan disahkan di Juli,” ujarnya.
Sementara itu anggota Komisi IX dari Fraksi Demokrat Aliyah Mustika Ilham mengatakan pihaknya tengah melakukan pembahasan terhadap RUU itu. Ia juga mengklaim telah mendengarkan masukan dari beberapa pihak terkait materi usulan yang bakal dimasukkan ke RUU itu.
“Kami menyerap masukan dan aspirasi dari teman-teman khususnya tenaga kesehatan dan medis yang memang merasa terzalimi dari RUU ini,”
Namun, Aliyah tak menyebut secara pasti kapan RUU tersebut akan disahkan. Menurutnya, saat ini RUU itu tengah dibahas di Komisi IX. “Nanti kita lihat saja,” pungkasnya.
Ancam Mogok Kerja Nasional
Sebelumnya Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menuturkan lima organisasi profesi kesehatan akan menggelar aksi mogok kerja nasional atau cuti pelayanan apabila DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan.
“Kalau tidak benar-benar mendapat perhatian dan akan dilanjutkan dengan pembahasan bahkan disahkan, dengan berat hati tanggal 14 (Juni) kami akan melakukan cuti pelayanan,” ujar Adib di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/6).
Kelima organisasi itu ialah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Adib mengatakan IDI akan berkoordinasi dengan semua organisasi profesi baik di tingkat pusat hingga cabang terkait persiapan aksi mogok kerja itu.
“Nanti akan koordinasikan dari level kepengurusan dari 5 organisasi profesi ini sampai tingkat cabang untuk kemudian mempersiapkan panitia persiapan cuti pelayanan,” ujarnya.
Meskipun berencana mogok kerja, ia mengatakan pihaknya tak akan mengabaikan urusan kegawatdaruratan masyarakat.
Kemenkes: Aspirasi Organisasi Profesi Diakomodasi Dalam RUU Kesehatan
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril mengemukakan seluruh aspirasi dari organisasi profesi kesehatan di Indonesia telah ditampung pemerintah dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
“Sebetulnya masukan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan profesi yang lain sudah ditampung melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang sudah diserahkan kepada DPR,” kata Mohammad Syahril di Jakarta, Senin.
Syahril mengatakan hal itu merespons aksi damai penolakan RUU Kesehatan yang digelar lima organisasi profesi kesehatan di Jakarta dan sejumlah daerah hari ini.
Ia mengatakan RUU Kesehatan adalah hak inisiatif DPR yang sudah disampaikan kepada Presiden.
“Presiden menugasi Menteri Kesehatan untuk dipelajari kemudian diminta masukan kritik saran dari seluruh stakeholder, seluruh profesi, masyarakat, dan muncul yang disebut DIM,” katanya.
Menurut dia, public hearing pada 13-31 Maret 2023 melibatkan 115 kegiatan partisipasi publik, 1.200 pemangku kebijakan yang diundang, dan 72.000 peserta. Hasilnya, terjaring 3.020 DIM yang diperoleh dari total 478 pasal di batang tubuh RUU Kesehatan.
Sebanyak 25 topik teratas di antaranya mengenai pelayanan rumah sakit, tenaga kesehatan, aborsi, sistem jaminan sosial, serta kemandirian obat dan farmasi.
Pada 5 April 2023 Kemenkes RI mengirimkan DIM RUU Kesehatan versi pemerintah ke Komisi IX DPR.
“Saat ini daftar inventarisasi masalah itu sudah disampaikan ke DPR untuk dibahas,” katanya.
Selama proses pembahasan oleh Panitia Kerja DPR, kata Syahril, dilakukan koreksi untuk penyempurnaan kebijakan.
“Dalam membuat undang-undang atau merumuskan kebijakan yang baru, tentu saja ada hal yang bisa berkaitan dengan profesi lain, orang lain, dan lembaga lain yang bersinggungan dalam hal ini,” katanya.
Segala hal yang diharapkan IDI dan beberapa profesi, kata Syahril, merupakan bentuk aspirasi yang dilindungi undang-undang.
“Tentu saja dengan demo ini bukan berarti kita harus berbenturan satu sama lain, tetapi untuk menyampaikan apa yang dilakukan dan apa yang dikerjakan bersama, kami akan menerima masukan,” katanya.(cnni/ant)