JAKARTA (Waspada): Ancaman ledakan demografi (melimpahnya usia produktif), mengintai Indonesia jika pertumbuhan ekonomi hanya berkisar lima persen. Sebab, pertumbuhan tersebut hanya mampu menyerap usia produktif antara 1,2 – 1,5 juta orang, sementara angkatan usia produktif per tahun kini mencapai 3 – 4 juta orang.
“Untuk sekarang ledekan demografi itu belum terasa, karena masih dapat terserap di sektor nonformal. Tapi ke depan harus diusahakan pertumbuhan secara signifikan untuk menyerap 3 sampai 4 juta angkatan baru per tahunnya,” tutur pengamat ekonomi Pieter Abdullah selaku Directur Riset Center of Reform on Economics, (CORE), Indonesia dalam diskusi “Monentum Pertumbuhan Ekonomi Di Tahun Penuh Tantangan” yang diselenggarakan Lembaga Penjamin Simpanan, (LPS), dan Forum Wartawan Daerah, (Forwada), Kamis, (9/3/2023), di Jakarta.
Indonesia diketahui menjadi negara yang kini memiliki bonus demografi atau ledakan penduduk. Pasalnya jumlah penduduk usia produktif lebih tinggi dibandingkan usia non produktif.
Badan Pusat Statistik, (BPS), melaporkan pada tahun 2019 lalu, penduduk usia produktif masih mendominasi.
Persentase laki-laki dan perempuan di usia produktif, (15-64 tahun), sekitar 67,6 persen. Sedangkan penduduk usia belum produktif hanya sekitar 26-27 persen.
“Data terakhir yang saya dapat jumlah demografi Indonesia sudah mencapai 3 hingga 4 juta orang. Jumlah sebesar ini harus dicarikan solusinya berupa penciptaan lapangan kerja baru dan pada akhirnya mengkatrol pertumbuhan,” ulasan Pieter.
Untuk mengkaitkan demografi dengan pertumbuhan, lanjutnya, maka diperlukan insentif atau berbagai kemudahan seperti penurunan suku bunga kredit pada sektor investasi, terutama investasi manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja.
Perbankan Stabil
Sementara itu, Anggota Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono memandang, membaiknya kondisi ekonomi riil Indonesia belakangan ini sejalan dengan kondisi industri perbankan yang stabil.
Dimana level permodalan bank secara nasional sangat tebal, ditandai dengan rasio permodalan bank (capital adequacy ratio/CAR) yang berada di angka 25,93 persen per Januari 2023.
Intermediasi perbankan juga terus tumbuh seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional yang ditandai dengan penyaluran kredit pada bulan Januari 2023 tumbuh sebesar 10,53 persen year on year (yoy) dan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sekitar 8,03 persen yoy pada periode yang sama.
“Hal ini menunjukkan bahwa dana yang ada di sistem perbankan secara gradual tersalurkan ke sektor riil, sebagai upaya menopang pertumbuhan nasional,” ujar Didik.
Dia tegaskan bahwa kondisi sistem keuangan dan perbankan yang stabil tersebut tidak terlepas dari peran serta lembaga-lembaga anggota KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) yang senantiasa berkoordinasi dan berkolaborasi menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Didik menuturkan bahwa selama pandemi hingga periode pemulihan ekonomi, LPS sendiri mengeluarkan kebijakan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
LPS bersama lembaga anggota KSSK bersinergi melalui Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Indonesia.
Beberapa kebijakan LPS itu antara lain mendukung pemulihan ekonomi di masa pandemi, dengan menurunkan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) ke level terendah dalam sejarah sebesar 3,50 persen untuk simpanan rupiah di bank umum, 0,25 persen untuk simpanan valas di bank umum, dan 6,00 persen untuk simpanan Rupiah di BPR.
“Kini, seiring dengan pemulihan ekonomi, LPS menaikkan TBP supaya perbankan memiliki ruang untuk merespons suku bunga acuan bank sentral, sembari tetap memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
OJK merupakan otoritas pengaturan dan pengawasan bank, lalu BI adalah otoritas moneter dan makroprudensial. LPS yang memperkuat sistem melalui fungsi penjaminan dan resolusi bank. Terakhir, Kementerian Keuangan berperan sebagai fiscal backsto, (cadangan fiskal). (J03).