Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Anggota Komisi I DPR: RUU Penyiaran Sudah Tak Relevan Lagi

Anggota Komisi I DPR: RUU Penyiaran Sudah Tak Relevan Lagi
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja dalam diskusi Forum Legislasi di Geung DPRRI Jakarta, Selasa (17/6). (ist)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja, menyoroti urgensi pembaruan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran agar relevan dengan perkembangan teknologi digital. Menurut Abraham, RUU Penyiaran yang digagas lebih dari satu dekade lalu tidak lagi memadai karena tidak mencakup platform digital seperti Netflix, TikTok, YouTube, atau berbagai layanan over-the-top (OTT) lainnya.

“Pembahasan RUU yang sudah mandek sejak 2012 menciptakan kekosongan hukum dan ketimpangan pengawasan antara media konvensional dan digital. Untuk itu harus segera diselesaikan, namun dengan pendekatan yang cermat dan tidak terburu-buru,” ungkap Abraham dalam diskusi Forum Legislasi di Jakarta Selasa (17/6).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Làgi pula, RUU penyiaran tahun 2012 itu belum mengenal istilah OTT, belum ada Netflix, TikTok, dan platform streaming lainnya. “Maka terjadi kekosongan hukum. TV konvensional merasa hanya mereka yang diawasi, sementara platform digital tidak,” ujar Abraham.

Namun dia mengingatkan, revisi RUU Penyiaran harus menghindari tumpang tindih kewenangan antara lembaga pengawas seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Direktorat Pengawasan Ruang Digital di bawah Kominfo Digital (Komdigi). Menurutnya, pengaturan yang serampangan berpotensi menciptakan konflik antar-lembaga serta membuka celah penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum.

Abraham menilai bahwa definisi ‘penyiaran’ dalam RUU perlu dipertajam agar tidak menimbulkan kerancuan dalam praktik pengawasan. Dia mengusulkan agar konten digital dan platform OTT diatur dalam undang-undang tersendiri, terpisah dari RUU Penyiaran yang berfokus pada siaran melalui gelombang radio frekuensi.

“Penyiaran itu secara teknis adalah transmisi serentak melalui gelombang radio frekuensi. OTT adalah hal berbeda. Kalau semua digabung, KPI akan jadi super power. Maka OTT sebaiknya diatur dalam UU lain. Di Amerika, misalnya, ada FCC untuk TV konvensional dan lembaga lain untuk OTT,” jelasnya.

Dia juga menanggapi keresahan publik terhadap konten vulgar di platform digital yang tidak tersentuh sensor. Namun, penanganannya tetap harus mengedepankan kerangka hukum yang jelas dan tidak tumpang tindih.

“Kalau mau dimasukkan, harus jelas sejak awal. Judulnya juga harus berubah, misalnya jadi ‘RUU Penyiaran dan Konten Digital’. Kalau tidak, ini akan menimbulkan konflik kewenangan,” tegas Abraham.

Diskusi tersebut menjadi bagian dari upaya Komisi I DPR untuk mengkaji ulang struktur pengawasan media di era digital. Abraham menutup paparannya dengan menegaskan komitmen DPR untuk menuntaskan RUU Penyiaran, namun tanpa mengorbankan kejelasan hukum dan integritas kelembagaan.

“Komitmen kami di Komisi I adalah menuntaskan RUU ini secepatnya, tapi tidak dengan cara membuka celah permainan oleh oknum-oknum tertentu,” pungkasnya.

Wakil Ketua KPI Pusat
Mohamad Reza dalam diskusi itu mengatakan, KPI Pusat maupun daerah selalu mendapat aspirasi masyarakat yang keberatan atas pemuatan di internet. Masyarakat umumnya menyamakan yang tersebar di internet merupakan wewenang KPI.

Aduan masyarakat tidak bisa kami terima karena bukan domain kami di KPI. Karena memang perlu diatur yang jelas siapa yang berwenang dalam kasus yang tersiar di platform media yang semakin banyak.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE