Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Bedah Buku Kelising Karya Salman Yoga: Ruang Seni, Ingatan dan Kemanusiaan

Bedah Buku Kelising Karya Salman Yoga: Ruang Seni, Ingatan dan Kemanusiaan
Pembicara dan sejumlah peserta diskusi dan bedah buku Kelising di Aula PDS HB Jassin Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis (2/10). Waspada/Ist
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada.id) : Buku terbaru karya Dr. Salman Yoga berjudul “Kelising” diperkenalkan melalui sebuah forum diskusi dan bedah buku yang diselenggrakan Dispusip Jakarta dan PDS HB Jassin, Kamis (2/10).

Tiga tokoh lintas bidang hadir sebagai pembicara utama: sastrawan dan penyair Fikar W. Eda, seniman teater Jose Rizal Manua, serta penulisnya sendiri, Dr. Salman Yoga. Diskusi dipandu moderator Ayu Yulia Djohan.

Dalam paparannya, Salman menjelaskan bahwa Kelising lahir dari kegelisahannya melihat seni yang kian terjebak dalam industri dan euforia belaka. “Buku tetap menjadi medium paling efektif untuk memperkenalkan gagasan seorang penulis. Kelising saya pilih dari bahasa Gayo, yang berarti memutar—sebuah simbol pencarian nilai berharga yang sesungguhnya dekat dengan kita,” ungkap Salman.

Buku ini berisi empat naskah, salah satunya Tungku, yang merekam kisah getir keluarga korban konflik panjang di Aceh. Naskah ini pernah dipentaskan di panggung teater, namun Salman menuturkan bahwa apresiasi publik kala itu belum menyentuh makna kemanusiaan yang diusung karya tersebut.

Fikar W. Eda menilai Kelising sebagai refleksi sosial dan politik yang menjadikan seni sebagai ruang kemanusiaan. “Karya ini mengingatkan kita bahwa seni tidak semata hiburan, tapi juga cermin nurani,” ujarnya.

Senada dengan itu, Jose Rizal Manua menyebut Kelising sebagai bukti bahwa seni berperan menjaga ingatan kolektif. “Naskah-naskah ini merekam luka sejarah dan mengajak publik merenung. Generasi muda perlu melihat bahwa seni sering lahir dari penderitaan dan perjuangan,” katanya.

Sejumlah tokoh budaya turut hadir, di antaranya tokoh muda Gayo Irmansyah, sutradara film dokumenter Radio Rimba Raya Ikmal Gopi, penulis dan pegiat literasi Zuhri Gayo, serta mantan Ketua Musara Gayo, Akhyar Gayo. Kehadiran mereka memperkaya percakapan tentang hubungan karya sastra dengan sejarah dan identitas Gayo.

Diskusi berlangsung dinamis dengan antusiasme tinggi dari peserta, mulai dari akademisi hingga komunitas seni dan literasi. Dialog interaktif tersebut menegaskan bahwa karya sastra memiliki peran penting tidak hanya sebagai estetika, tetapi juga sebagai wadah refleksi sejarah, budaya, dan nilai kemanusiaan.

Lewat Kelising, Salman Yoga bersama para narasumber dan peserta membuka ruang apresiasi baru terhadap seni dan sastra, sekaligus mengingatkan bahwa karya-karya tersebut adalah bagian dari perjalanan panjang ingatan kolektif bangsa.(id87).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE