JAKARTA (Waspada): Budayawan Sumatera Barat Edy Utama menilai, jajaran pemerintahan di Sumatera Barat tidak tahu dengan Labu nan Kamek (labu yang enak-red). Ia menganalogikan semua itu dengan menyebut lebih sibuk dengan kemasan dan minus dengan gagasan.
Penegasan itu disampaikan Edy Utama menanggapi dirobohkannya kediaman Ema Idham, sebuah bangunan cagar budaya di Kota Padang, pekan lalu, oleh pemiliknya saat ini.
Pada tahun 1942, rumah ini pernah ditempati Soekarno dalam perjalanannya ke Sumatera Barat dari Bengkulu. Sebelum dimiliki Ema Idham, rumah ini merupakan kediaman Dr Woworuntu yang didirikan pada tahun 1930.
“Selama 5 bulan lebih di Padang usai perjalanan darat dari Bengkulu, Soekarno bermukim di rumah sahabat lamanya asal Manado, Woworunto yang kini kondisi rumahnya telah roboh. Saat itu, Soekarno belum seorang presiden. Masih seorang tokoh asal Pulau Jawa,” ungkap Edy Utama dalam keterangan tertulis, yang diterima, Kamis (16/2/2023),di Jakarta.
Dalam kurun waktu yang relatif singkat itu, sejarah mencatat, Soekarno diterima dengan baik oleh masyarakat Minang, bahkan sampai bertemu dengan Syekh Abdullah Abbas di Padang Japang, Kabupaten Limapuluh Kota.
Almunus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menjelaskan bahwa sosok Soekarno saat itu sudah menjadi orang yang disegani bala tentara Jepang.
“Dalam konteks hari ini bagi Sumatera Barat yang telah mencanangkan tahun kunjungan pariwisata (Visit Beautiful West Sumatera/VBWS) 2023, sejarah keberterimaan orang Jawa yang diwakili dengan ketokohan Soekarno di tengah masyarakat Minang, merupakan sebuah peristiwa yang layak dikemas sebagai magnet kunjungan wisatawan nusantara terutama ke para Soekarnoisme,” papar Edy Utama yang juga Ketua Bidang Kebudayaan PDI Perjuangan Sumatera Barat.
Edy pun mencontohkan Haul Bung Karno pada bulan Juni setiap tahunnya di Kota Blitar dibanjiri puluhan ribu pengunjung.
Hal serupa juga dilakukan Kota Bengkulu yang menjadikan rumah pengasingan presiden pertama Republik Indonesia itu, jadi sebuah museum. Setiap tahunnya, museum ini jadi magnet wisatawan ‘Soekarnoisme’ datang berkunjung ke Bengkulu.
“Di Kota Padang, Sumatera Barat, kediaman Sorkarno dengan segala sejarah yang pernah melingkupinya, malah dibiarkan dengan dirobohkan. Salah satu magnet wisata itu kini dibiarkan tak berbekas. Ini sebuah tragedi bagi sebuah daerah yang telah mencanangkan tahun kunjungan wisatawan,” tandas mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat itu.
“Sampai hari ini, populasi Soekarnoisme itu sangat banyak di Pulau Jawa. Kita sama-sama tahu, penduduk suku Jawa itu yang terbanyak di negara ini. Tentunya, mereka adalah pasar potensial kita dalam konteks industri pariwisata. Sayang, salah satu magnetnya dibuang begitu saja di Sumatera Barat,” pungkas Edy. (irw)