JAKARTA (Waspada.id): Publik tidak menginginkan Pemilu 2029 menggunakan undang undang lama, (UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum), apalagi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Karena itu, DPR RI diminta segera memulai pembahasan revisi UU Pemilu untuk mengakomodasi berbagai desakan masyarakat dan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, terutama memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
Demikian benang merah diskusi publik yang digelar Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) terkait rangkaian HUT Ke-4 PKN, di Jakarta, Senin (10/11). Hadir sebagai pembicara Ketua Majelis Agung (KMA) PKN, Gede Pasek Suardika, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angraini, Direktur Lingkar Lima Madani, Ray Rangkuti.
Titi mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sudah masuk Program Legislasi Nasional, (Prolegnas) 2025. Tetapi sampai saat ini, belum terlihat apa yang sudah dilakukan DPR. Diduga kejadian Pemilu 2024 akan terulang. Saat itu, kata dia, DPR tidak bisa mencapai konsensus, padahal badan keahlian DPR sudah menyiapkan draf, bahkan sampai naskah akademik.
“Bulan Maret 2021, tidak ada konsensus di internal DPR, karena ada yang mempertahankan Parliamentary Threshold (PT) di angka 7 persen. Ada yang ingin naik menjadi 10 persen dan ada yang tetap di angka 4 persen. Belum lagi ada kepentingan eksekutif. Deadlock. DPR dan pemerintah akhirnya memutuskan tidak merevisi UU Pemilu dan kenakan status quo. Semua tidak berubah. Akhirnya dikeluarkan Perppu,” kata Titi.
Situasi hari ini, tepatnya di November 2025, kata dia, lebih buruk lagi. Naskah akademik RUU Pemilu yang menjadi usulan DPR belum ada. Padahal DPR harus mengirim naskah akademik itu ke pemerintah, lalu pemerintah membahasnya dan mengirim lagi ke DPR untuk dibahas bersama antara DPR dan pemerintah.
“Apakah DPR akan berhasil mendapatkan konsensus soal PT, soal pemisahan pemilu, soal daerah pemilihan (dapil), perekrutan penyelenggara pemilu dan sebagainya? Inilah masalahnya. Waktu terus berjalan dan saat ini sudah mau memasuki tahun 2026,” kata dia.
Titi mengatakan, dengan situasi seperti ini yang dikhawatirkan adalah dengan alasan ketidakmampuan mencapai konsensus di Parlemen, Perppu dikeluarkan atau lebih parah lagi menggunaan UU lama. Hal ini tentu akan sangat menyulitkan karena desain pemilu hasil putusan MK adalah pemilu terpisah, sementara PT tetap sama.
“Kan putusan MK soal PT itu non self execution, tidak bisa langsung dieksekusi. Ini berbeda dengan putusan penghapusan ambang batas yang self execution, sudah bisa langsung dieksekusi tanpa revisi UU. Maka situasi yang tidak kita sukai kemungkinan besar akan terjadi lagi,” kata dia.
Sementara itu, Ray Rangkuti melihat kinerja DPR sekarang ini merosot tajam. Berbeda dengan DPR lima belas atau dua puluh tahun lalu. Dia pun mengakui dulu sering berdiskusi dengan teman-teman di DPR. Tetapi 10 tahun terakhir jarang ke DPR. Dengan kualitas kinerja DPR saat ini, Ray meragukan RUU Pemilu akan cepat selesai.
Sebelumnya, MK memutuskan format pemilu lima kotak bertentangan dengan UUD 1945 dan memerintahkan pemisahan pemilu nasional dan lokal mulai 2029.
Pemilu nasional akan memilih DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara pemilu lokal memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah, dengan jeda 2—2,5 tahun setelah pemilu nasional. (id10/rel)












