Scroll Untuk Membaca

Nusantara

DPR RI Soroti Ketergantungan Impor Dan Lemahnya Perlindungan Petani

DPR RI Soroti Ketergantungan Impor Dan Lemahnya Perlindungan Petani
Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan dalam Forum Legislasi bertema “DPR RI Segera Bahas RUU Pangan untuk Mendukung Program Pemerintah” di Jakarta Selasa (20/5), (Waspada/Ramadan Usman)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Pangan demi memperkuat kedaulatan pangan nasional menanggulangi ketergantungan impor yang dinilainya semakin akut.

Dalam Forum Legislasi bertema “DPR RI Segera Bahas RUU Pangan untuk Mendukung Program Pemerintah” di Jakarta Selasa (20/5), Johan mengkritik keras lemahnya arah kebijakan pangan nasional dan dominasi pasar impor yang menurutnya menggerus produksi dalam negeri.

“Kalau Bung Karno bilang, pangan itu hidup matinya sebuah bangsa. Tapi undang-undang kita belum mampu menjamin ketahanan, apalagi kedaulatan pangan,” ungkap Johan membuka paparannya.
Menurut politisi dari Fraksi PKS itu, Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 gagal menekan dominasi produk impor, serta tak memberikan sanksi tegas bagi praktik impor berlebih yang merugikan petani lokal. Ia menyebut bahwa revisi undang-undang ini harus berangkat dari prinsip konstitusional, yakni perlindungan rakyat dan penguasaan negara atas sumber daya pangan.
“Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar semata. Negara harus hadir, memimpin, dan menjamin bahwa rakyat terlindungi dalam urusan pangan,” tegas Johan.

Dalam forum yang juga dihadiri oleh insan media dan pemangku kepentingan sektor pertanian itu, Johan menguraikan tiga kelemahan utama dalam UU Pangan 2012: lemahnya orientasi pada produksi nasional, tiadanya sanksi untuk impor yang berlebihan, dan tidak adanya penguatan terhadap pasal 33 UUD 1945 tentang penguasaan negara atas sumber daya alam.
Politisi Fraksi PKS itu menyoroti lemahnya kebijakan cadangan pangan. “Bulog hanya diberi kuota menyerap 3 juta ton dari total produksi 19 juta ton. Lalu, nasib 16 juta ton produksi petani ke mana?” ujarnya, mengkritik kebijakan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang menurutnya tak berpihak pada mayoritas petani.

Johan juga mempertanyakan klaim pemerintah soal penghentian impor beras. “Kalau benar kita bisa mempengaruhi harga beras dunia, mengapa harga dalam negeri masih tinggi?” katanya sambil mengingatkan bahwa Indonesia masih bergantung pada impor kedelai, gula, daging, dan bawang putih.

Swasembada Bukan Retorika

RUU Pangan, kata Johan, harus menegaskan batasan kuantitatif dan prosedur ketat dalam kebijakan impor. Dia menyerukan perumusan strategi swasembada pangan yang bukan hanya wacana politik, tapi langkah berdaulat dalam menghadapi krisis global, konflik geopolitik, dan perubahan iklim.

Johan menyarankan adanya reformasi kelembagaan, termasuk pembentukan Kementerian Pangan sebagai institusi teknis yang menggabungkan fungsi Bulog dan Bappenas dalam urusan pangan. “Tapi Bulog harus tetap ada dan diperkuat sebagai instrumen pemerintah,” ujarnya.

Johan menutup dengan usulan desain besar (grand design) empat pilar strategis ketahanan pangan: produksi yang berdaulat dan berkelanjutan, distribusi yang adil dan terkendali, konsumsi yang bergizi dan berbasis lokal, serta cadangan yang tangguh dan mandiri. Johan juga mendorong agar penetapan lahan pertanian berkelanjutan menjadi prioritas nasional dan terintegrasi dalam tata ruang wilayah.

“Pangan adalah urusan hidup mati bangsa. Negara harus berada di depan. Ini bukan sekadar kebijakan, tapi mandat konstitusi,” tegas Johan.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE