Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Ekosistem Ojol Dinilai Rumit, Ekonom dan Menhub Serukan Aturan yang Hati-Hati

Ekosistem Ojol Dinilai Rumit, Ekonom dan Menhub Serukan Aturan yang Hati-Hati
Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) Agung Yudha. (Foto:ist)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Ekosistem ojek online (ojol) dan layanan pengantaran digital adalah sistem yang sangat kompleks, melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Tidak hanya jutaan mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi, tetapi juga konsumen, pelaku UMKM, regulator, investor, penyedia layanan keuangan, logistik, teknologi, serta mitra bisnis lainnya seperti restoran, toko, gudang, dan bengkel.

“Setiap intervensi pada satu titik dalam ekosistem ini berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan banyak sektor,” ujar Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menanggapi tuntutan penurunan komisi menjadi 10 persen, belum lama ini di Jakarta.

Seperti diketahui, gelombang tuntutan dari pengemudi ojek online (ojol) kembali memuncak dengan aksi demonstrasi besar pada 20 Mei 2025. Mereka menilai potongan sebesar 20 persen terlalu memberatkan dan meminta intervensi pemerintah agar komisi diturunkan demi meningkatkan kesejahteraan mereka.

Sejumlah pejabat negara dan ekonom menyerukan agar pemerintah tidak terburu-buru merespons tuntutan secara populis. Mereka mengingatkan bahwa keputusan yang tidak berbasis data dan hanya mengakomodasi satu pihak bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih luas terhadap ekosistem digital Indonesia.

Dudy menyatakan bahwa aplikator memiliki skema potongan yang bervariasi dan pengemudi bebas memilih platform sesuai preferensi.

“Para driver sebenarnya punya pilihan. Kita bisa lihat bahwa keempat aplikator ini—GoJek, Grab, Maxim, dan InDrive—memiliki pangsa pasar dan skema potongan yang berbeda,” ujarnya.

    Dudy menambahkan bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan menurunkan komisi, tetapi harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem.

    “Kalau saya tidak berpikir keseimbangan berkelanjutan, bisa saja. Enggak ada susahnya menandatangani aturan potongan 10 persen. Tapi rasanya tidak arif bagi kami kalau kami tidak mendengar semuanya,” kata Dudy.

    “Ini bukan sekadar bisnis biasa. Ada ekosistem besar di sini—pengemudi, perusahaan, UMKM, logistik, hingga masyarakat pengguna. Pemerintah ingin menjaga keberlanjutan dan keseimbangannya,” tambahnya.

    Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) Agung Yudha mengatakan, industri ojol, taksol, dan kurir online berkontribusi sekitar 2% terhadap PDB Indonesia (ITB, 2023).

    “Bila komisi dipaksakan turun, dampaknya bisa sangat besar,” ujar Agung di Jakarta, Senin (26/5).

    Agung juga menyoroti dampak sosial dari penurunan komisi. Menurutnya, hilangnya pendapatan pengemudi akan menurunkan daya beli mereka, yang kemudian berdampak pada sektor makanan, kebutuhan pokok, hingga layanan keuangan seperti pinjaman dan cicilan,” kata Agung lagi.

    Agung Yudha juga memerinci dampak besar yang terjadi bila komisi dipaksa turun, diantaranya hanya 10–30% mitra pengemudi yang bisa terserap ke lapangan kerja formal. Kemudian, penurunan aktivitas ekonomi digital bisa menekan PDB hingga 5,5 persen. Lainnya, sekitar 1,4 juta orang terancam kehilangan pekerjaan. Dampak ekonomi total bisa mencapai Rp178 triliun, termasuk efek berantai pada sektor lain.

    Data dari Antara dan Metro TV menunjukkan bahwa hingga 2024 lebih dari 600.000 UMKM telah bergabung di GrabFood dan GrabMart. Sejak pandemi hingga Mei 2022, lebih dari 2 juta UMKM telah didigitalisasi melalui Grab dan OVO.

    Pada 2023, 500.000 UMKM baru masuk ke dalam platform. Gojek juga mencatat bahwa hingga Oktober 2022, 20,5 juta UMKM telah terdigitalisasi, dengan pertumbuhan signifikan pada 2020 sebesar 80 persen.
    Penurunan pendapatan platform juga mengancam kelangsungan program digitalisasi UMKM, insentif pengemudi, dan pengembangan teknologi.

    Lebih jauh lagi, sektor transportasi daring saat ini menjadi tumpuan hidup bagi lebih dari 3 juta orang, menurut data BPS dan Kementerian Kominfo. Kebijakan yang salah arah bisa menciptakan ketidakpastian besar bagi mata pencaharian mereka.

    Sementara itu, riset dari CSIS dan Tenggara Strategics menunjukkan bahwa pada 2019 kontribusi industri mobilitas dan pengantaran digital telah mencapai Rp127 triliun. Setiap peningkatan 10% jumlah mitra pengemudi terbukti mendorong kenaikan tenaga kerja di sektor mikro dan kecil sebesar 3,93%.

    Dengan segala pertimbangan itu, Menhub dan para ekonom menekankan bahwa regulasi terhadap ekosistem digital tidak bisa dibuat secara tergesa-gesa atau emosional. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan seluruh pemangku kepentingan, mengedepankan kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan berbasis bukti.

    Jika hal ini diabaikan, niat memperbaiki justru bisa berujung pada kebijakan yang merusak ekosistem digital yang telah memberikan manfaat nyata bagi jutaan warga Indonesia—dan melenyapkan potensi besar bangsa ini di era teknologi.

    Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    *isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE