Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Era Diplomasi Digital Butuh Partisipasi Aktif Rakyat Indonesia

Era Diplomasi Digital Butuh Partisipasi Aktif Rakyat Indonesia
Forum Dialektika Demokrasi bertajuk “Dubes Baru Harapan Baru: Upaya Memaksimalkan Diplomasi RI” di Gedung DPR RI Jakarta Kamis (17/7). (Waspada/Andy Yanto Aritonang)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syamsu Rizal, menyerukan agar diplomasi tidak lagi dipandang sebagai domain eksklusif para diplomat, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif seluruh rakyat Indonesia, terutama di era digital yang menjadikan setiap individu sebagai aktor potensial dalam membentuk citra bangsa.

Rizal menekankan urgensi transformasi diplomasi Indonesia agar lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan pola interaksi global yang kini serba digital.

“Ketika Anda membuka Google atau media sosial, Anda sebenarnya sedang berdiplomasi,” tegas Rizal saat berbicara dalam forum Dialektika Demokrasi bertajuk “Dubes Baru Harapan Baru: Upaya Memaksimalkan Diplomasi RI” di Jakarta Kamis (17/7).

Disebutnya, pendekatan diplomasi konvensional yang bergantung pada pertemuan tatap muka harus digeser ke arah diplomasi digital atau cyber diplomacy yang dinilai lebih cepat, efisien, dan menjangkau lebih luas.

Dia mencontohkan, penandatanganan perjanjian bilateral oleh kepala negara hanyalah puncak dari proses diplomasi panjang yang kini sebagian besar dijalankan secara daring oleh tim teknis dan kementerian terkait. “Presiden hanya menandatangani. Semua tahapan diplomasi sudah selesai jauh sebelumnya lewat platform digital,” ungkapnya.

Rizal juga menyoroti kekuatan soft power Indonesia melalui aksi kemanusiaan. Salah satu contohnya adalah keberhasilan tim penyelamat Indonesia dalam mengevakuasi pendaki asal Brasil dari Gunung Rinjani. Aksi tersebut mengubah sentimen publik global terhadap Indonesia secara drastis.

“Dulu Indonesia sempat diboikot karena dianggap abai. Tapi pascakejadian itu, masyarakat Brasil menggalang dana hingga Rp1,3 miliar sebagai bentuk apresiasi. Itu diplomasi publik yang sesungguhnya,” ungkapnya.

Selain soal citra dan komunikasi, dia menekankan pentingnya evaluasi kinerja diplomat yang tidak semata-mata dilihat dari relasi politik formal, melainkan dari hasil konkret, seperti pembukaan akses pasar ekspor dan promosi budaya Indonesia secara efektif.

Dalam paparannya, Rizal juga menyinggung tantangan berat Indonesia di kawasan Pasifik, khususnya terkait persepsi negatif terhadap isu Papua. Meski berbagai pendekatan sudah dilakukan, menurutnya, Indonesia belum berhasil membangun kepercayaan di wilayah tersebut.

“Negara-negara di Pasifik masih menunjukkan resistensi tinggi. Ini bukan soal kurang komunikasi, tapi karena pendekatannya terlalu normatif dan tidak menyentuh budaya serta jejaring komunitas mereka,” jelas Rizal.

Dia menilai, pendekatan diplomasi harus disesuaikan dengan karakter lokal dan narasi kemanusiaan yang kuat agar Indonesia tidak terus menerus harus memadamkan kampanye hitam di forum-forum internasional seperti PBB.

Dalam forum itu Pengamat Hubungan internasional Teuku Rezasyah mengingatkan, penempatan Duta Besar (Dubes) Indonesia, hendaknya bukan sekadar formalitas politik atau pembagian jabatan semata, melainkan amanah besar yang menuntut kualitas, kompetensi, dan kapasitas negosiasi global demi menjaga kehormatan bangsa di kancah internasional.

Teuku menjelaskan, tugas seorang duta besar saat ini jauh lebih kompleks dibanding masa lalu. Mereka harus menguasai hukum internasional, memahami dinamika perdagangan global, menjalin relasi dengan berbagai aktor dari pejabat tinggi, pelaku bisnis, hingga masyarakat sipil serta mampu meningkatkan citra Indonesia di negara penempatan.

Menurutnya, perdebatan mengenai diplomat karier versus non-karier seharusnya tidak dibesar-besarkan. Yang lebih penting, kata dia, adalah kualitas individu tersebut dalam menjembatani kepentingan bilateral secara profesional dan cerdas.

“Baik dari jalur karier maupun non-karier, kalau tidak punya kapasitas dan kemampuan komunikasi internasional, tidak akan berhasil. Seorang duta besar harus adaptif, mampu bernegosiasi, memahami perbedaan budaya, dan tidak gagap menghadapi tekanan,” tegasnya.(j04).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE