JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menegaskan keberadaan haluan negara penting agar apa pun kemungkinan ragam warna dan
ideologi pejabat elected ataupun partai politik (Parpol) pemenang pemilihan umum (Pemilu), Negara tetap berjalan pada haluan yang benar.
Penegasan ini disampaikan Fahri Hamzah saat jadi pembicara dalam diskusi Empat Pilar MPR RI sekaligus bedah buku PPHN Tanpa Amandemen, kerja sama Biro Hubungan Masyarakat dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), Rabu, (29/3/2023) di Media Center MPR/DPR/ DPD RI, Jakarta.
Adapun pembicara lain dalam diskusi adalah Ketua MPR RI, Dr. Bambang Soesatyo, Anggota Kom III, Muhammad Nasir Djamil dan Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago .
Menurut Fahri Hamzah,sesungguhnya konsep haluan atau peta jalan pembangunan hari ini tetaplah ada, hanya saja dipindahkan ke tangan eksekutif dan legislatif melalui pembentukan undang undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan UU Sistem Pembangunan Nasional.
Namun masalahnya, kata Fahri Hamzah, karena produknya berupa UU yang merupakan domain Presiden dan DPR, maka haluan menjadi mudah berubah mengikuti perubahan hasil pemilu.
” Pada hal Mas Bambang (Ketua MPR RI Bambang Soesatyo-red), mengharapkan agar yang dimaksud sebagai haluan adalah sesuatu yang menjadi produk negara yang dijalankan oleh pemerintahan, sehingga kewenangan membuat haluan itu seharusnya ada di MPR dengan produk politik dan hukum MPR,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 itu pun memberikan kritis dan catatanya atas buku PPHN tanpa Amandemen yang dibuat DR Bambang Soesatyo, SH, SE, MBA,
Kesimpulan dari buku Bambang Soesatyo, kata Fahri, adalah untuk menjawab pertanyaan
eksistensial tentang keberadaan MPR. Apakah MPR perlu kembali diberikan kewenangan politik
dari sekedar kewenangan seremonial seperti yang dimiliki sekarang?
Menurut Fahri Hamzah, MPR sangat perlu diberikan kewenangan politik untuk mencegah gridlock antar kamar kekuasaan dan mengurai kebuntuan dalam menghadapi permasalahan konstitusional dan ketatanegaraan.
Fahri pun menyebutkan ada banyak contoh kebuntuan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Konsitusi kita, seperti pengaturan tentang anggaran pendidikan 20 persen, kemungkinan terjadinya perang, dan juga apabila presiden bersama DPR bersepakat untuk mengambil kebijakan yang dampaknya ekstrim
bagi kehidupan bangsa dan negara kita.
” Semua ini memerlukan instrumen intervensi yang levelnya bukan pada presiden atau DPR dan DPD, juga bukan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi. Tetapi intervensi diperlukan pada level majelis permusyawaratan rakyat,” paparnya.
Oleh sebab itu, menurut Fahri Hamzah, mengaktivasi kembali tools yang dimiliki MPR berupa Ketetapan MPR menjadi sangat penting, sebab Hal tersebut akan sangat efektif mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan.
“Jika intervensi politik tingkat tinggi diperlukan dalam mengurai kebuntuan politik maka yang
melakukannya adalah sebuah lembaga yang cukup kuat dalam sejarahnya,tukasnya.
Dalam hirarkhi peraturan perundangan, tambah Fahri, TAP MPR memang berada pada posisi ke dua di bawah UUD 1945. Namun berdasarkan penjelasan pasal 7 UU 12/2011 tentang pembentukan
peraturan perundangan, yang dimaksud dengan Ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPRS dan
TAP MPR sampai tahun 2002.
Apa artinya? Artinya, jelas Fahri, MPR tidak lagi bisa membuat ketetapan MPR karena ketetapan MPR produk di atas tahun 2002 tidak masuk dalam hirarkhi peraturan perundangan.
Lebih dari itu, urai Fahri, bangsa besar seperti Indonesia dapat saja ditengah jalan menghadapi tantangan yang berasal dari luar dan dari dalam negeri. Dari luar misalnya apabila terjadi perang yang berdampak pada kawasan kita. Dari dalam bisa terjadi misalnya apabila kita membaca ada
kesalahan yang berulang-ulang serta berpotensi menciptakan bom waktu dalam demokrasi kita.
Sebut saja kesalahan berulang-ulang dalam penyelenggaraan Pemilu yang akhirnya berakibat
pada buruknya sistem politik dan kacau nya sistem ketaatanegaraan, tandasnya.
Kemudian perdebatan tentang sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam pemilu misalnya, sebagai koreksi atas degradasi mentalitas pemilih dan yang dipilih, Fahri berpandangan perlu instrumen untuk melampaui kelemahan para politisi di legislatif dan eksekutif dengan mulai mengoreksi sistem representasi secara fundamental yang akan berakibat pada perbaikan sistem politik dan penyelenggaraan negara secara utuh.
Katakanlah jika implikasi dari perubahan itu dapat disetarakan dengan terjadinya reformasi jilid
dua Pasca amandemen konstitusi dan jatuhnya rezim orba seperempat abad yang lalu. Maka
kita tidak bisa lagi membiarkan ini menjadi aspirasi yang meledak dan menjadi demonstrasi dan
kerusuhan.
Tetapi selayaknyalah MPR mengambil inisiatif untuk lahirnya sebuah ketetapan yang
mengoreksi jalannya sistem Pemilu dan sistem politik yang ada sekarang, tegas Fahri Hamzah.
Poin terakhir yang disampaikan Fahri Hmzah adalah TAP MPR harus lahir dalam keadaan darurat, ini semacam Perpu dikamar legislatif untuk melakukan koreksi jalur cepat. Oleh sebab itu perlu dipikirkan secara lebih serius situasi ke depan yang diakibatkan oleh pembiaran terus menerus dan kesalahpahaman yang tidak ada jalan keluarnya alias buntu (contitutional deadlock), baik oleh DPR, oleh Presiden dan juga Mahkamah Konsitusi.
Itulah tujuh catatan Fahri Hamzah untuk mengingatkan semua pihak, khususnya para politisi dan pengambil kebijakan tertinggi akan pentingnya kewaspadaan, jangan sampai bangsa ini menghadapi jalan buntu!. (J05)