JAKARTA (Waspada.id):Di tengah menguatnya fenomena post-truth yang sering mengaburkan batas antara opini dan kebenaran, Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an 2025 hadir sebagai ruang penting untuk memperkuat otoritas keilmuan tafsir.
Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an menjadi hajat bersama Ditjen Bimas Islam, Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM (BMBPSDM), serta Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama.
Digelar di Jakarta, Rabu (19/11/2025), forum bertema besar tentang cinta dan toleransi ini mempertemukan para ulama, akademisi, dan pemerhati tafsir guna menajamkan kembali metodologi penafsiran agar lebih responsif terhadap dinamika sosial masa kini.
“Dua hal, yakni cinta dan toleransi semakin diperlukan di tengah situasi sosial yang dipengaruhi oleh era post-truth,” ungkap Menag, dalam pidatonya.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa tantangan utama tafsir pada masa sekarang tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga terkait pertempuran narasi di ruang publik. Pada era ketika persepsi sering kali lebih dominan daripada fakta, Menag menilai perlunya strategi penafsiran yang mampu menjawab kegelisahan masyarakat dan menjaga otoritas kebenaran.
“Kita menghadapi situasi ketika kebenaran sejati mudah tertutupi oleh kekuatan media dan politik. Karena itu, penyusunan tafsir hari ini menuntut metodologi baru yang lebih peka pada perubahan sosial,” ujar Menag dalam sambutannya.
Dalam forum ini, isu metodologi kembali menjadi sorotan utama. Menag menekankan pentingnya pendekatan induktif, membaca realitas sosial terlebih dahulu, untuk kemudian dikaitkan dengan teks suci. Pendekatan ini dinilai lebih relevan untuk menjawab persoalan keagamaan dan kemanusiaan kontemporer.
“Tafsir tidak cukup hanya bertumpu pada pendekatan deduktif. Perpaduan antara rasio dan kepekaan rasa sangat diperlukan,” jelasnya.
Salah satu fokus strategis Ijtimak adalah memperkuat posisi tafsir sebagai rujukan resmi negara. Menag menegaskan perlunya tafsir yang merefleksikan konteks Indonesia, masyarakat yang beragam, religius, dan berakar pada budaya Nusantara.
“Setiap bangsa memiliki hak budaya dalam memahami Al-Qur’an. Karena itu, perspektif antropologi, sosiologi, dan budaya Indonesia harus menjadi bagian dari tafsir kita,” tegasnya.
Kegiatan ini juga menjadi ajang penyempurnaan tiga juz tafsir Al-Qur’an yang telah disusun Kementerian Agama. Melalui uji publik, para peserta memberi kritik dan masukan substantif untuk memastikan tafsir tersebut kuat secara ilmiah sekaligus relevan bagi masyarakat Indonesia.
Dengan tema toleransi dan cinta kemanusiaan, Ijtimak Ulama Tafsir 2025 menegaskan bahwa pembaruan tafsir bukan semata kerja akademik, tetapi juga bagian dari upaya menjaga harmoni sosial dan memperkuat pemahaman Islam yang moderat serta berwawasan keindonesiaan.












