JAKARTA (Waspada): Fraksi Partai Demokrat mengajak DPR RI membicarakan lagi Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibuslaw Kesehatan dengan organisasi profesi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, Pengamat Kesehatan, KPAI sebelum membawa RUU itu ke tingkat 2.
RUU Omnibuslaw Kesehatan sudah diputuskan di tingkat satu. Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menolak untuk melanjutkan ke tingkat dua. Penolakan juga dilakukan oleh IDI, IBI dan sejumlah organisasi profesi kesehatan.
“Fraksi Partai Demokrat menolak tentu dengan berbagai alasan yang sangat krusial,”ujar Anggota Badan Legislatif DPR Fraksi Demokrat Herman Khaeron dalam diskusi Forum Legislasi, ‘RUU Kesehatan Jamin Perlindungan Kesehatan Bayi dan Anak di Indonesia? di Media Center DPR RI, Jakarta, Selasa (20/6).
Menurut Khaeron, undang-undang kesehatan itu memberikan peranan penting terhadap masa depan anak bangsa, karena dalam indikator kesejahteraan, indeks pembangunan manusia yang menjadi ukuran terhadap masing-masing wilayah, bahkan akumulatifnya menjadi ukuran secara nasional tidak terlepas dari kesehatan, pendidikan dan pendapatan.
Untuk itu, kata Khaeron, rakyat semestinya diberikan ruang yang cukup bisa memberikan masukan dan pendapat dan pada akhirnya memang harus ada konsensus yang itu menjadi ketetapan secara formal di DPR yang menjadi aturan negara dalam bentuk undang-undang.
“Oleh karena itu saya kira ini yang harus dibedah sebelum masuk ke Paripurna bila memungkinkan, meski sudah diambil keputusan tingkat satu, dibuka kembali untuk bisa mendapatkan masukan-masukannya, ujarnya.
Fraksi Partai Demokrat sendiri berpandangan, bahwa di dalam revisi undang-undang ataupun di dalam Omnibus law Kesehatan kata Khaeron, ada hal yang menjadi kemunduran di dalam UU Nomor 36 tahun 2009, yang merupakan produk pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena SBY membuka ruang demokrasi yang cukup baik, perhatian dan program-pro rakyatnya juga sangat baik.
Di dalam undang-undang itu tentu diberikan sebuah landasan yang kuat terhadap bagaimana masa depan kesehatan anak-anak bangsa melalui undang-undang, bahkan diberikan mandatory spending, APBN-nya dipatok 5%, bahkan dalam pembahasan-pembahasan di panja kemarin.
“Saya sebagai anggota Baleg di awal memang ingin meningkat ke 10 persen agar di bidang pendidikan ada anggaran-anggaran afirmatif (menguatkan), karena masyarakat kita masih membutuhkan kehadiran negara di dalam memenuhi kesehatannya. Mandatory spending ini penting, untuk memberikan ketetapan alokasi anggaran yang lebih pasti, kalau kemudian diusulkan malah dihapus di dalam omnibus law kesehatan maka yang akan terjadi adalah kemunduran-kemunduran,” paparnya.
Di mana target 1000 Puskesmas dibangun, itu kan ada janji politik, seribu Puskesmas akan dibangun, kalau kemudian malah dengan 5 persen saja dihapus, kemudian bagaimana cara kita melakukan proteksi anggaran yang cukup untuk bidang kesehatan, bagaimana membangun sistem kesehatan yang lebih murah untuk rakyat, saat ini saja kita kalau menggunakan BPJS, saya itu sering kali menemukan pasien itu paling lama dirawat 3 hari, inikan hak kita yang paling mendasar,” tambah Khaeron.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena dari Fraksi Partai Golkar menegaskan, pihaknya di Komisi IX sudah melewati tahapan lebih lanjut dari pembahasan RUU Kesehatan itu.
“Raker kemarin di Komisi IX sudah menyetujui pembahasan ini dilanjutkan ke tingkat kedua di Paripurna, kami tinggal menunggu putusan dari pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi untuk memutuskan kapan ini disahkan oleh Paripurna,”katanya.
Menurut Melkias, secara umum UU Kesehatan itu sebelum masuk ibu dan anak, memang ingin melakukan proses transformasi kesehatan dalam berbagai hal, ada 20 bab dan 458 pasal tadi disampaikan serta ada banyak sekali isu-isu strategis yang ingin coba kita letakkan, transformasi kesehatannya melalui undang-undang kesehatan tersebut.
“Kemudian juga diatur tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal untuk memastikan penyediaan pelayanan kesehatan buat ibu bisa terlaksana dengan baik dan standar aman berhubungan dengan terjangkau dan juga dalam undang-undang ini mengatur upaya kesehatan ibu, itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama,”ungkap Melkias.
Diskusi itu dihadiri juga oleh Anggota Pokja RUU Kesehatan KPAI German E. Anggent, Dewan Pembina Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) Dr Baharuddin, SpOG(K) Pengamat Kesehatan Dr. Hermawan Saputra, S.K.M., M.A.R.S dan Sekjen Ikatan Bidan Indonesia Dr. Ade Jubaedah, SSiT, MM, MKM.(j04)