Scroll Untuk Membaca

HeadlinesNusantara

Hukum Perlu Menyesuaikan Kebutuhan Masyarakat Nasional Dan Global

Hukum Perlu Menyesuaikan Kebutuhan Masyarakat Nasional Dan Global
Forum Legislasi dengan tema "Revisi UU ITE Disahkan, Upaya Perkuat Sistem Keamanan Transaksi Elektronik" di Media Center Parlemen, Jakarta, Selasa (12/12). (Waspada/ Ramadan Usman).
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah mengalami dua kali perubahan sejak diundangkan.

Pengesahan RUU ITE dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023) lalu.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Hukum Perlu Menyesuaikan Kebutuhan Masyarakat Nasional Dan Global

IKLAN

Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono mengatakan dengan pengesahan tersebut menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum nasional maupun hukum global.

“Beberapa kalangan menganggap norma-norma UU ITE itu multi tafsir, pasal karet, memberangus kemerdekaan pers, hingga mengancam kebebasan berpendapat. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum, baik secara nasional maupun global,” ujar Dave Laksono dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Revisi UU ITE Disahkan, Upaya Perkuat Sistem Keamanan Transaksi Elektronik” di Media Center Parlemen, Jakarta, Selasa (12/12).

Dave mengatakan penyesuaian hukum atas dinamika di masyarakat sejalan dengan pengembangan sektor informatika, komunikasi dan sektor digital yang memang perlu terus dilakukan.

“Mengingat potensi kontribusi yang cepat dan masif dari sektor ini bagi kemajuan ekonomi Indonesia,” imbuhnya.

Ia berharap UU ITE baru yang telah mengalami dua kali revisi, ke depannya akan dapat dimanfaatkan untuk menopang kemajuan bagi peradaban bangsa dan negara Indonesia.

Diakui politisi Partai Golkar ini, sejak diberlakukan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE ternyata pelaksanannya relatif singkat karena delapan tahun diberlakukan sudah direvisi pada perubahan pertama sehingga berubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

“Karena adanya dinamika dan keinginan masyarakat akan adanya penyempurnaan pasal-pasal dalam undang-undang ITE, khususnya ketentuan pidana konten ilegal,” tegas Dave.

Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membenarkan RUU Perubahan UU ITE yang baru disahkan memperbaiki banyak hal sejalan dengan perkembangan yang cepat di masyarakat. Utamanya terkait transaksi digital.

“Hukum itu kan harus transformatif, kita ini harus mengikuti gerak dinamika di masyarakat,” ujar Habiburokhman.

Hal lainnya, menurut politisi Partai Gerindra ini adalah terkait penegakan hukum, kebebasan menyampaikan pendapat.

Habiburokhman yang berlatarbelakang advokat mengungkapkan saat masih beracara di persidangan, dia banyak sekali menangani perkara-perkara yang dijerat karena menyampaikan pendapat. Dijerat dengan pasal 27 dan pasal 28 UU yang lama. DPR pun banyak mengusulkan bagaimana kedua pasal tersebut diganti atau diperbaiki.

Dengan UU ITE yang baru ini, DPR dan pemerintah memperjelas, tadi pasal 28 hanya berkaitan dengan norma, yaitu menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan (SARA) suku agama ras dan antar golongan, dipidana dengan penjara di atas lima tahun.

Kebanyakan dijerat dengan frasa antar golongan yang dinilai menjadi penyebab pasal 28 menjadi pasal “karet”. Dengan UU ITE yang baru, definisi antar golongan menjadi jelas.

Menurut Habiburokhman, yang paling penting dari norma hukum itu adalah rumusannya tidak karet.

“Kalau ketentuan yang baru ini sudah diterapkan mungkin Ahmad Dhani enggak pernah masuk penjara dulu, karena definisi antar golongannya enggak terpenuhi,” kelakar Habiburokhman.

Dokumen Elektronik

Ketua Asosiasi Digital Trust Indonesia (ADTI), Marshall Pribadi menyoroti sisi ekonomi dari UU ITE yang baru. Yaitu keharusan surat-surat dan perjanjian akta jual beli yang menggunakan tanda tangan elektronik.

“Sehingga kita suatu hari sudah bisa menghadap notaris tidak perlu tatap muka fisik dan tidak harus tanda tangannya basah di kertas,” ungkap Marshall.

Dengan ketentuan ini, menurut Marshall tentu disambut baik kalangan industri. Karena semua hal yang berkaitan dengan dokumentasi, sertifikasi dan perjanjian jual beli, semua menggunakan dokumen elektronik.

“Saya mewakili asosiasi digital trush Indonesia yang beranggotakan 9 penyelenggara sertifikasi elektronik yang berinduk dan berizin KEK Kementerian Kominfo. Saat ini sudah ada 9 berizin di Kominfo dan mungkin sedang ada lagi yang sedang mengantri izinnya,” ujarnya.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE