JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat rendah ada di 38, masih berada di bawah rata-rata global yakni 43, dan membuat Indonesia berada di urutan 96 dari 180 negara.
“IPK Indonesia berkutat di angka 37 dan 38 dalam lima tahun terakhir—sempat menyentuh 40 tetapi langsung turun ke 38,” katanya dalam acara Puncak Peringatan Hakordia Kemenkeu Tahun 2022, Selasa (13/12/2022), di Jakarta.
Pihaknya masih menemukan bahwa praktik suap dalam proses perizinan berusaha masih banyak terjadi. Adanya ruang untuk suap membuat pelaku usaha memilih melakukannya selama memberikan manfaat ekonomi.
Bahkan kini, sambungnya, masyarakat maupun pelaku usaha semakin memahami berbagai persoalan korupsi dan praktik apa saja yang tergolong sebagai korupsi.
Namun, kondisinya berkebalikan dengan perilaku masyarakat yang masih permisif terhadap korupsi.
Menurutnya, masyarakat masih menganggap lumrah praktik memberikan sesuatu kepada pejabat atau penyelenggara negara. Misalnya dalam mengurus perizinan menjadi hal yang lumrah memberikan sesuatu kepada pejabat yang berwenang.
“Orang ketika mengurus perizinan dengan memberikan sesuatu itu, bukan sesuatu hal yang buat mereka menjadi merasa bersalah. Oh, tidak, wajar saja Pak, dunia bisnis seperti itu, enggak ada perizinan yang gratis. Mereka sampaikan itu, para pengusaha-pengusaha itu,” ungkap Alexander
Para pengusaha melaporkan bahwa pada praktiknya tidak ada proses perizinan yang gratis. Secara formal mungkin memang tidak terdapat pengenaan biaya, tetapi di luar itu tetap perlu adanya biaya-biaya tertentu agar pengurusan izin bisa berjalan lancar, sehingga mengindikasikan bahwa praktik pungutan liar masih terjadi dalam pengelolaan investasi.
“Ya, kalau secara ekonomi kami dapat untung [dari memberi suap], enggak ada persoalan,” ujar Alexander yang menirukan pernyataan para pengusaha.
Alexander menyebut bahwa hal itu menggambarkan masih banyaknya praktik korupsi di Indonesia, bahkan seolah-olah menjadi hal yang lumrah arau biasa, sehingga mereka yang tertangkap adalah sedang bernasib buruk stsu lagi apes.
KPK pun menyatakan bahwa audit Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK belum bisa mengungkap banyak kasus korupsi, baik di pusat maupun daerah.
“Saya kok masih merasa orang yang kemudian tertangkap tangan atau berperkara korupsi itu apes, bukan ya kejadian yang luar biasa. Lho, kenapa? Sebetulnya yang lain kelakuannya sama, hanya mereka lebih rapi dalam melakukan tindakan dan menyembunyikan kekayaannya, lebih rapi,” tuturnya.
Dia pun menilai bahwa risiko tertangkapnya koruptor saat ini cukup rendah. Hal tersebut membuat para penyelenggara negara di berbagai tingkatan masih merasa nyaman untuk melakukan tindakan korupsi. (J03)