JAKARTA (Waspada): Pemerintah Indonesia diminta mengambil pelajaran dari gejolak politik yang terjadi di Korea Selatan (Korsel) yang berujung pada pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol terkait pemberlakuan darurat militer pada Sabtu (7/12/2024), akibat Presiden Yoon Suk Yeol secara gegabah menggunakan kekuasaannya untuk mengumumkan keadaan darurat. Padahal yang terjadi adalah persoalan politik biasa dipicu persoalan pribadi dirinya dan perseteruan dengan parlemen Korsel.
“Ini pelajaran yang penting buat kita. Artinya Presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata memang punya wewenang kekuasaan untuk mengumumkan keadaan darurat. Tetapi, power rakyat tidak boleh disepelekan,” kata Ketua DPP Bidang Hubungan Luar Negeri Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Henwira Halim dalam Gelora Talks bertajuk ‘Gejolak Politik di Negeri K-Pop, (Korsel), Ada Apa?’ Rabu (18/12/2024) di Jakarta.
Menurut Henwira, kekuasaan Presiden itu sangat besar, bisa menonaktifkan seluruh institusi negara dan memusatkan kekuasaan dalam genggamannya, apabila negara dalam keadaan darurat.
“Artinya menggunakan kekuasaan itu, perlu ada standar requirement atau persyaratan yang ketat. Jadi Presiden tidak bisa mentang-mentang menggunakan kekuasaannya, tanpa ada urgensinya,” ujarnya.
Apalagi kemudian terbukti, ternyata tidak ada ancaman serangan dari Korea Utara (Korut) yang dijadikan dalih oleh Presiden Yoon Suk Yeol untuk memberlakukan keadaan darurat.
“Ternyata ini hanya masalah politik yang harusnya diselesaikan melalui mekanisme politik biasa. Parlemennya terjadi perpecahan dipicu skandal korupsi istrinya (Kim Keon-hee),” katanya.
Henwira menambahkan, pelajaran lain yang bisa diambil dari gejolak politik di negeri K-Pop adalah masalah transparasi dan keberanian dalam mengingatkan pemimpin, apabila salah dalam membuat kebijakan.
“Harus berani ngomong ke bos-nya (Presiden, red) kalau memang benar atau salah. Jangan asal bapak senang, tapi menjerusmuskan. Sehingga kita bisa mencegah, apabila tidak ada urgensinya atau salah. Harus berani mencegah,” tegasnya.
Selain itu, yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah adalah para peserta aksi unjuk rasa di Korsel, yang sebagian besar adalah penggemar berat atau fans K-Pop.
Mereka memiliki yang pendidikan merata dan wawasan yang cukup dalam berdemokrasi. Sehingga membantu mereka berkomunikasi di media sosial untuk memobilisasi massa.
“Ini bedanya di kita (Indonesia) yang pendidikannya masih belum merata dan belum memiliki wawasan yang cukup. Sosial media bisa menjadi racun dan bumerang, kalau tidak ada rambu-rambunya dengan dalih kebebasan demokrasi,” pungkasnya.
Pembelajaran Proses Demokrasi
Sementara itu, Pakar Hukum International, Universitas Indonesia Prof Arie Afriansyah mengingatkan, bahwa kondisi yang terjadi di Korsel, bisa saja terjadi di Indonesia, apalagi penggembar K-Pop di tanah air sangat besar.
“Penggemar K-Pop di Indonesia ini sangat banyak, pasti mereka memperhatikan proses yang sedang terjadi di Korsel. Mereka juga pasti akan memperhatikan proses yang sedang terjadi di sini,” kata Arie Afriansyah.
Proses demokrasi di Korsel itu, lanjutnya, mengajarkan perlu adanya check and balance antara presiden dan parlemen dalam kehidupan bernegara dan demokrasi.
“Dan yang bertarung, semua terlihat juga memiliki kedewasaan dalam berpolitik, mau menerima. Dan rakyatnya juga tidak tinggal diam, melakukan upaya untuk memastikan proses demokrasi berjalan rapi. Kita lihat bagaimana rapinya demonstrasi di Korsel, pakai balon dan bernyanyi nyanyi,” ujarnya.
Menurut dia, semua proses gejolak politik di Korsel sesuai dengan koridor hukum sebagai garda terdepan mereka dalam berdemokrasi.
“Semua rakyat menunggu apapun hasil dari pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang bisa memakan waktu sampai enam bulan. Jadi betapa dewasanya rakyat Korsel akan menerima keputusan apapun dari pengadilan, mau menang atau kalah,” tegasnya.
Sedangkan Pengamat Hubungan International, Universitas Parahyangan Bandung Ratih Indraswari mengatakan, apa yang terjadi di Korsel sebagai harmoni budaya dan perlawanan sosial.
Ratih mengidentifikasi ada tiga hal yang penting dalam gejolak politik di negeri K-Pop sekarang. Pertama mobilisasi massa atau gerakan sosial yang berasal dari kesamaan suka, sama-sama suka dengan K-Pop.
“K-Pop berhasil membentuk suatu gerakan sosial atau social movement. Penggemarnya yang besar berhasil diberdayakan. Idol-idol mereka ini memiliki hubungan emosional yang sangat intens, karena untuk jadi anggota harus ditraining dulu yang berat. Sehingga mereka punya tujuan dan identitas yang jelas,” kata Ratih Indraswari.
Para fans K-Pop ini, lanjut Ratih, memiliki semangat kerja keras, solidaritas dan keberanian dalam menghadapi segala tantangan, sehingga membuat mereka lebih aktif dalam menyuarakan keadilan dan ketimpangan sosial, serta berani mengkritik pemerintah Korsel agar ada perubahan yang mereka kehendaki.
Kedua adalah protes terhadap pemerintah yang dilakukan para K-Pop ini berlangsung damai dan kreatif, dimana aksi unjuk rasa didominasi para perempuan muda.
“Protes di Korsel mengajarkan kita, berdemo itu bisa damai dan kreatif dengan bernyanyi-nyanyi. Semua dilakukan dengan unik dengan membawa gitar, yang didominasi perempuan muda,” katanya.
Alumnis S3 Ewha Womans University Korsel ini menilai demontrasi di Korsel memiliki kombinasi antara protes dan konser musik.
“Sehingga meski protes, tapi tetap santun. Semua lirik lagu yang dinyanyikan, dimodifikasi sebagai pesan politik untuk menyuarakan keadaan sosial di Korea Selatan,” tambahnya.
Ketiga adalah ada elemen budaya dalam protes di Korsel, dibandingkan dengan negara lain. Dimana 70 persen yang melakukan protes berusia 18-25 tahun, dan sisanya berusia diatas 30 tahun.
“K-Pop di Korea Selatan ini seperti Pancasila di Indonesia. Mereka menjadikan K-Pop sebagai budaya, dan terbukti telah diterima secara global. Artinya, dalam setiap peristiwa politik di Korea Selatan, pasti ada keterlibatan sosial budayanya. Bahkan artis K-Pop juga terlibat dalam gerakan ini,” tandasnya. (J05)











