JAKARTA (Waspada): Pengacara dan praktisi hukum J. Kamal Farza mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat dalam skandal ekspor ilegal bijih nikel ke China. Ia menilai, kasus ini bukan hanya soal pelanggaran perdagangan, tapi juga bentuk nyata pengkhianatan terhadap kepentingan negara.
“KPK harus serius mengusut ekspor ilegal ini karena sejumlah nama besar sudah disebut di media. Periksa mereka, cari tahu siapa dalang utamanya, siapa yang mengeruk untung untuk diri sendiri dan kroninya,” tegas Kamal, yang juga mantan Presidium Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, saat dihubungi Waspada.id, Kamis (12/6) pagi.
Data Resmi, Larangan Berlaku, Tapi Nikel Tetap Mengalir
Isu ekspor ilegal bijih nikel mencuat tajam di ruang publik. Padahal, pemerintah telah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel mentah sejak 1 Januari 2020. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda.
Ekonom senior Faisal Basri sebelumnya mengungkapkan bahwa sepanjang 2020 hingga 2023, sebanyak 5,6 juta ton bijih nikel masih mengalir ke China. Merujuk data International Trade Centre (ITC), ekspor tersebut terjadi secara bertahap:
• 2020: 3,4 juta ton
• 2021: 800 ribu ton
• 2022: 1,1 juta ton
• 2023: 300 ribu ton
“Ini ironi. Larangan sudah berlaku, tapi jutaan ton nikel tetap keluar. Jika ini melibatkan pejabat pusat atau daerah, mereka harus segera diperiksa. Ini bentuk pengkhianatan terhadap negara demi kepentingan pribadi dan kelompok,” ujar Kamal.
KPK Dinilai Terlalu Lamban
Terkait pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bahwa kasus ini masih dalam tahap penyelidikan, Kamal mempertanyakan kinerja lembaga antirasuah tersebut.
“Data dari Faisal Basri sangat jelas. Dengan semua fasilitas yang dimiliki KPK, seharusnya mereka sudah bisa melangkah lebih jauh. Misalnya, menyurati sumber-sumber informasi baik di dalam maupun luar negeri,” sindir Kamal.
Ia menegaskan bahwa dalam hukum pidana, ada konsep penyertaan atau deelneming, yakni keterlibatan dalam tindak pidana baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konsep ini:
• Pelaku utama disebut pleger,
• Penyuruh disebut doenpleger,
• Yang turut serta disebut medepleger.
“KPK seharusnya segera menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan. Setelah itu panggil nama-nama yang sudah muncul di publik. Dari sana akan terbuka aktor-aktor besar lain serta bukti yang diperlukan,” katanya.
Kamal menyimpulkan, hambatan utama dalam pengusutan kasus ini bukan soal bukti atau teknis hukum, melainkan soal kemauan dan keberanian politik.
“KPK punya segalanya: kewenangan, fasilitas, dan data awal. Pertanyaannya sekarang: KPK mau atau tidak? Berani atau tidak?” tutupnya tajam.(m14)











