JAKARTA (Waspada): Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai rokok akan berpengaruh terhadap inflasi hingga pertumbuhan ekonomi.
Alasannya, kebijakan tarif cukai itu akan meningkatkan harga produk hasil tembakau, sedangkan rokok merupakan salah satu barang yang banyak dikonsumsi masyarakat.
“Dampak kenaikan itu terhadap inflasi terbatas, yakni masing-masing sebesar +0,10 persen sampai dengan 0,20 persen dan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar -0,01 persen sampai dengan -0,02 persen,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR), Senin (12/12/2022).
Menkeu menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo telah menentukan bahwa kenaikan tarif CHT rata-rata tertimbang untuk 2023 dan 2024 adalah 10 persen dan untuk golongan sigaret kretek tangan (SKT) maksimal 5 persen.
Dia percaya bahwa kenaikan harga produk hasil tembakau akibat kebijakan tarif cukai akan berdampak terbatas terhadap inflasi. Dia bahkan meyakini bahwa laju inflasi sudah terkelola dengan baik.
Pemerintah telah memberlakukan kenaikan tarif yang berbeda untuk setiap golongan produk hasil tembakau.
Golongan sigaret kretek mesin (SKM) I dan II rata-rata naik antara 11,5 persen—11,75 persen, sigaret putih mesin (SPM) I dan II naik sekitar 11 persen, serta sigaret kretek tangan (SKT) rata-rata 5 persen.
Sri Mulyani menegaskan, rokok menjadi salah satu komponen terbesar dalam pengeluaran rumah tangga dan kerap mengabaikan kebutuhan lain, seperti makanan bergizi.
Dampak Negatif
Dia menilai kenaikan tarif cukai rokok penting untuk menekan prevalensi atau tingkat konsumsi rokok. Karena tingginya konsumsi rokok memberikan dampak negatif yang serius bagi rumah tangga. Pasalnya, semakin banyak konsumsi rokok maka alokasi untuk belanja lainnya akan berkurang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2022, rokok merupakan komponen pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua. Di perkotaan, komponennya mencapai 12,21 persen dan di pedesaan mencakup 11,63 persen. “
“Tingginya konsumsi rokok ini menkadi dilema bagaimana agar bisa memegaruhi konsumsi rumah tangga lebih baik dengan memprioritaskan barang-barang yang lebih bergizi, terutama yang dibutuhkan oleh anak-anak, sehingga mereka bisa lebih sehat dan lebih baik,” tutur Menkeu.
BPS mencatat bahwa rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan Rp246.382 per bulan untuk belanja rokok. Padahal, uang itu dapat digunakan untuk belanja bahan pangan bergizi, sehingga kualitas rumah tangga bisa lebih baik.
Sedangkan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mencatat bahwa setiap 1 persen peningkatan pengeluaran rokok akan menaikkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin hingga 6 persen. (J03)