JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menilai peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kerap tidak berjalan efektif ketika negara-negara pemilik hak veto memiliki kepentingan langsung dalam konflik.
“ Israel seolah-olah bebas melakukan apa saja kayak negara yang kebal hukum. Karena setiap ada pembahasan soal Israel, Amerika selalu mem-veto,” ujarnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Langkah Konkret Antisipasi Dampak Meluasnya Perang Israel-Iran’ di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (26/06/2025).
Hal yang sama, menurutnya, juga terjadi dalam konflik Ukraina yang tidak terselesaikan akibat veto Rusia.
“Kalau negara-negara yang punya hak veto itu berkepentingan langsung berkonflik, PBB lumpuh,” tegasnya.
Meskipun begitu, Sukamta menyebut PBB tetap penting sebagai platform diplomasi global.
“Bagaimanapun tidak efektifnya, masih lebih baik ada PBB dibandingkan tidak ada. Tanpa PBB, dunia bisa lebih chaos,” jelasnya.
Ia pun mendorong adanya reformasi sistem di PBB, termasuk hak veto.
Salah satu usulan yang pernah muncul adalah veto hanya berlaku jika mendapat persetujuan dua pertiga anggota Majelis Umum PBB.
“Saya kira ini menarik untuk terus diangkat supaya pemerintah juga terus mendorong di PBB itu supaya reformasi berjalan lebih cepat,” pungkasnya.
Nuklir Picu Instabilitas Kawasan
Pada bagian lain Sukamta menyoroti ketimpangan kekuatan nuklir di kawasan Timur Tengah, khususnya kepemilikan senjata nuklir Israel yang menjadi pemicu ketegangan dengan Iran.
“Memang terkonfirmasi Israel punya bom nuklir. Israel juga tidak mau masuk ke NPT (Perjanjian Nonproliferasi Nuklir) dan tidak mau diinspeksi,” tegas Sukamta.
Ia menilai langkah Iran yang melakukan pengayaan uranium adalah bentuk respons terhadap ancaman Israel.
“Jangan dibalik. Oh ini Iran punya nuklir jadi harus disikat. Kan kebalik. Iran itu cuma merespons apa yang dilakukan oleh Israel,” jelasnya.
Namun dia juga mengingatkan bahwa perlombaan senjata nuklir di kawasan bisa memicu efek domino. Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi berpotensi ikut mengembangkan senjata nuklir.
Meski demikian, ia menyebut ada sisi paradoks dalam kepemilikan senjata nuklir.
“Seperti India dan Pakistan. Ketika dua-duanya punya nuklir, yang terjadi malah saling menahan diri. Coba kalau salah satu punya, satunya enggak, itu bisa lebih berbahaya,” tegasnya. (J05)