Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Komisi X DPR Dorong Pendidikan Karakter Ponpes Masuk Di Sekolah Umum

Komisi X DPR Dorong Pendidikan Karakter Ponpes Masuk Di Sekolah Umum
Diskusi dialektika demokrasi bertajuk 'Antara Tradisi dan Modernitas: Mampukah Pesantren Bertahan di Tengah Gempuran Globalisasi’ di Jakarta Kamis (16/10). (Waspada.id/Ramadan Usman)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada.id): Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani mendorong agar pendidikan karakter yang ada di Pondok Pesantren (Ponpes) diadopsi sekolah umum. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bahkan didorong memasukkan pendidikan karakter ke kurikulum pendidikan nasional.

Lalu menyampaikan hal itu dalam diskusi dialektika demokrasi bertajuk ‘Antara Tradisi dan Modernitas: Mampukah Pesantren Bertahan di Tengah Gempuran Globalisasi’ di Jakarta Kamis (16/10).

“Etika, adat moral, sopan santun, dan menghargai guru itu harus menjadi contoh dari pendidikan-pendidikan umum. Kami akan mendorong itu masuk ke kurikulum pendidikan nasional,” kata Lalu.

Menurut dia, ponpes merupakan tempat di mana nilai-nilai ke-Indonesiaan, yakni gotong royong, hormat kepada guru, dan ketulusan hati terus tumbuh dan hidup. Lalu bahkan menyebut bila bangsa sekarang perlu kembali belajar adab dari pesantren melalui kiai.

Bagi Legislator dari Fraksi PKB ini, ponpes merupakan tempat sakral yang masih mengajarkan keikhlasan di tengah modernitas. Lalu bahkan menyatakan bila menjaga muruah pesantren bukan sekadar membela satu lembaga tetapi menyembuhkan luka moral bangsa dan negara.

Dalam upaya merawat kehormatan ponpes, Lalu menegaskan Komisi X DPR RI bakal mempertegas posisi pendidikan pesantren dalam Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Perubahan payung hukum itu diperlukan agar negara betul-betul mengakui keberadaan hingga hak dari ponpes.

“Insyaallah kami akan memperjelas posisi pendidikan pesantren, agar apa agar betul-betul diakui oleh negara, hak-haknya disamakan dengan hak-hak dari pendidikan,” kata dia.

                                                                              Soroti Tayangan Trans7

Dalam forum Diskusi, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Habib Syarief Muhammad menilai tayangan Trans7 yang menyorot kehidupan pesantren tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya. Dia menyebut, laporan tersebut bersifat parsial dan gagal memahami nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kehidupan pesantren di Indonesia.

“Pesantren sudah ada sejak masa para Wali Songo. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren berkembang pesat sejak abad ke-17. Kalau ada tayangan yang menampilkan pesantren secara tidak utuh, itu bentuk ketidakpahaman terhadap sejarah dan kultur pesantren,” katanya.

Dia menjelaskan, peran kiai dalam pesantren sangat sentral, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga pembimbing spiritual yang berkhidmat sepanjang waktu. Ia menegaskan, sebagian besar pesantren di Indonesia tidak memungut biaya pendidikan tinggi dari para santrinya.

“Kiai tidak digaji, dan banyak pesantren yang hanya memungut biaya makan sekitar Rp200 ribu per bulan tanpa uang sekolah. Pesantren seperti Lirboyo, misalnya, dari 40 ribu santri, sekitar 20 persen belajar secara gratis,” ujarnya.

Habib Syarief menambahkan, kehidupan pesantren tidak bisa diukur dengan logika ekonomi. “Ada nilai ikhlas, tawadhu, dan barokah yang tidak bisa diterjemahkan secara duniawi. Figur kiai itu bukan hanya pemimpin dunia, tapi juga pemimpin akhirat,” tutur legislator PKB itu.

Menyoroti polemik tayangan Trans7, Habib Syarief menyebut reporter dan tim produksi seharusnya melakukan riset mendalam sebelum menayangkan konten yang sensitif. Menurutnya, banyak pesantren dan alumni yang bisa menjadi sumber valid untuk menjelaskan kehidupan pesantren yang sebenarnya.

“Kalau mereka bertanya pada dua atau tiga alumni saja, pasti akan tahu bahwa gambaran dalam tayangan itu tidak benar. Saya tidak menolak tayangan itu, tapi sayang sekali, tidak berhasil memotret pesantren secara utuh,” kata Habib Syarief.

Dia juga menegaskan bahwa sebagian besar pesantren di Indonesia berdiri secara mandiri tanpa sokongan besar dari pemerintah. “Mungkin hanya 20 persen yang mendapat bantuan negara. Selebihnya murni dari kekayaan pribadi kiai atau warisan keluarga,” katanya.

Habib Syarief menekankan bahwa pesantren tidak hanya mendidik santri dalam ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter.

Habib Syarief meminta media massa untuk lebih berhati-hati dalam menayangkan konten tentang pesantren. Dia menyebut sudah banyak penelitian akademik yang bisa dijadikan rujukan, termasuk karya Gus Dur dan beberapa studi dari peneliti luar negeri.

“Kalau ingin memahami pesantren, datanglah langsung ke kiai, lihat bagaimana mereka hidup dan membimbing santri. Pesantren adalah benteng moral bangsa,”ungkapnya.

Pengamat pendidikan Iman Zanatul yang jua Kepala Bidang Advokasi Guru dari perhimpunan pendidikan dan guru, menyatakan dirinya memang terlibat dalam beberapa isu-isu pendidikan baru-baru ini.

“Yang pertama kami ucapkan prihatin ya atas kejadian robohnya mushola di pondok pesantren yang lalu kemudian juga tayangan Trans7 kemarin menuai banyak polemik. Saya ingin membuka dua hal sebetulnya yang yang amat sederhana yang pertama adalah peluang yang kedua adalah tantangan dan yang ketiga mungkin kita akan meneruskan sedikit apa yang sudah disampaikan para narsumber bagaimana supaya RUU khusus Sisdiknas ini harus bisa mewadahi pondok pesantren karena undang-undang pesantren saat ini dirasa belum begitu efektif dan belum berdampak terhadap orang-orang yang bekerja di pondok pesantren,”tuturnya.
(id89)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE