JAKARTA (Waspada): Komisi X DPR RI sepakat
akan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang (UU) No 10 Tahun ‘94 Tentang Kepariwisataan, karena perlu diperbaiki untuk diharmonisasi dengan UU Ciptaker. Untuk itu Komisi X DPR RI sedang menyusun RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
“Kita juga menginginkan ada paradigma baru dalam pariwisata kita,”ungkap Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah dalam diskusi Forum Legislasi ‘Menilik Urgensi RUU Kepariwisataan’ di Jakarta, Selasa (2/7).
Salah satu tujuan dari revisi UU Kepariwisataan kata Ledia, tetap mempertahankan ekosistem dan lingkungan dari daerah setempat dari dampak buruk yang ditimbulkan.
“Sudut pandangnya yang ingin diubah bahwa bukan sekedar menambah jumlah kunjungan, tetapi juga bagaimana tetap mempertahankan ekosistem, tetap mempertahankan lingkungan dan lain sebagainya,”ujarnya.
Ada sejumlah substansi materi RUU yang menjadi penekanan DPR RI ini terkait penyusunan RUU Kepariwisataan yang dibahas Komisi IX DPR. Pertama, menurut Ledia, mengenai kondisi global yang diharapkan dari sektor pariwisata itu nanti akan terjadi berkelanjutan sustainable tourism atau pariwisata yang berkelanjutan dan bermakna.
“Yaitu bahwa kita tidak ingin sekedar mendorong orang-orang berbondong-bondong untuk hadir ke satu tempat mengunjungi wisata, mendatangkan keuangan bagi wilayah setempat maupun negara tujuan. Atau daerah tujuan. Tapi setelah itu pulang selesai, nggak peduli apakah daerah tujuan itu rusak,” sebut politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Kedua, sambung Ledia, terkait perkembangan teknologi, utamanya digitalisasi. Anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat I (meliputi Kota Bandung dan Cimahi) ini mengakui kita tidak bisa menutup mata dari perkembangan digitalisasi, karena semua hal yang berkaitan dengan bisnis pariwisata tidak bisa dilepas perubahan dan perilaku.
Perubahan mindset dan perilaku terkait dengan perilaku para wisatawan itu sendiri maupun perilaku bidang usaha pariwisata. Ia mencontoh untuk pembelian tiket pesawat, reservasi hotel dan lainnya, wisatawan maupun pelaku bisnis wisata sudah menggunakan perangkat digitalisasi canggih.
“Beli tiket lewat travel kan sekarang semua sudah tinggal pakai jempol. Sepanjang di rekeningnya ada uangnya, sudah langsung bisa. Mau berangkat ke mana saja bahkan sudah bisa memilih mau yang seperti apa,” ungkap Ledia.
Ledia menjelaskan berbagai aplikasi berbasis internet semakin menjamur. Bisnis travel perjalanan sudah digantikan dengan aplikasi, juga pemandu wisata oleh virtual tour. Bahkan dengan adanya peta berbasis internet orang tinggal klik saja sudah tahu.
“Kalau kita cuma punya waktu 2 jam atau 3 jam di satu tempat apa yang sebaiknya kita lakukan itu sudah ada konselornya dari HP kita,” terang Ledia.
Lebih jauh, Ledia mengatakan pemerintah sudah menjadikan bahwa pariwisata akan menjadi tulang punggung perekonomian nasional, setelah minerba. Sehingga DPR RI memahami sektor pariwisata bagian yang akan didorongkan dan mendapatkan perhatian lebih besar saat ini.
Hal lain mengenai rencana pembentukan Badan yang akan dibentuk khusus mengelola pariwisata dan kedudukannya akan berada langsung di bawah presiden.
“Perlu ada badan, terlepas nanti kementeriannya mungkin pindah-pindah tapi ada badan yang tetap di bawah presiden. Kita juga berharap ketika adanya perlindungan terhadap pemandu wisatanya. Apakah bersertifikasi atau nggak. Jadi ada perlindungan,” sebut Ledia.
Hal lain berkaitan keterkaitan dan harmonisasi dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja, karena UU Nomor 10 Tahun 2009 ini merupakan salah satu UU yang dilebur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Persoalnnya, terang Ledia, dalam metode Omnibus Law maka tidak bisa mengubah satu pasal saja dalam UU Cipta Kerja. Dalam Omnibus Law apabila ingin mengubah maka yang diubah harus keseluruhannya.
“Akhirnya saat ini kesepakatannya dengan Badan Legislasi terpaksa harus mengubah, bukan mengganti. Jadi kita mengubah dengan pendekatannya revisi perubahan, bukan penggantian,” ujarnya.
Pengamat Pariwisata Azril Azahari mengakui penyusunan revisi UU Kepariwisataan terhalang Undang-Undang Cipta Kerja. “Jadi banyak hal yang harus kita sinkronisasi ke sana,” ujar Azril.
Ia juga memiliki kesamaan pandangan dengan Ledia, bahwa pariwisata sudah bergeser paradigmanya pada pariwisata dunia. Dahulu di era 80-an, katanya kebanyakan target wisata masih berkutat pada jumlah wisatawan. Tapi sekarang lebih pada Land of Sale. Yaitu targetnya pada berapa banyak uang yang dibelanjakan.
Dengan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional mencapai 15%, dalam pandangan Azril tidak sampai 10% makanya sebenarnya sektor pariwisata belum menjadi sektor unggulan.
Hal lain yang menjadi penekanan Azril adalah belum adanya pemetaan secara jelas dari pemerintah, tentang tujuan dari kunjungan wisata. Sebab, menurutnya ada dua hal berbeda dari visitors, yaitu antara turis dengan pelancong.
Turis, menurutnya keberadaannya di sebuah destinasi wisata biasanya hanya dalam hitungan hari. Sedangkan pelancong biasanya lebih lama. Kesalahan dalam memetakan antara turis dengan pelancong dapat berakibat pada target pendapatan darfi sektor pariwisata.
Sementara itu, Praktisi Media Mokhamad Munib mengatakan, penyusunan revisi UU Kepariwisataan akan banyak menemui jalan terjal. Munib mengatakan seperti dikatakan Ledia keterkaitan dengan UU Cipta Kerja yang tidak bisa mengubah pasal per pasal atau sebagian dari sebagai dari UU Cipta Kerja, tetapi harus mengubah secara keseluruhannya.(j04)