JAKARTA (Waspada.id): Komite III DPD RI menyampaikan keprihatinan atas penonaktifan 7,3 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan 1,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bantuan sosial (Bansos). Kebijakan ini menimbulkan keresahan jutaan warga miskin dan tidak mampu di berbagai daerah karena kehilangan akses layanan kesehatan maupun bantuan sosial yang selama ini sangat dibutuhkan.
“Komite III DPD RI perlu untuk mengetahui apakah penonaktifan tersebut semata-mata memang terjadi karena adanya pengintegrasia dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) , atau karena perubahan kriteria dan ukuran-ukuran sebagai pedoman penetapan penduduk fakir miskin, serta tidak mampu yang layak menerima bansos,” kata Ketua Komite III DPD RI Filep Wamafma saat rapat kerja dengan Kementerian Sosial, di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (23/9/25).
Data yang beredar di media menunjukkan dampak penonaktifan peserta hampir terjadi di seluruh provinsi. Salah satunya di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 57.349 peserta nonaktif yang meminta verifikasi ulang, sementara sekitar 41 ribu warga miskin di Demak terancam kehilangan layanan kesehatan. “Di Jawa Barat, jumlah peserta nonaktif cukup besar seperti di Kabupaten Garut (201.230 peserta), Sukabumi (174.231 peserta), dan Bandung (144.154 peserta),” paparnya.
Selain itu, Komite III DPD RI juga menyoroti hasil survei penyalahgunaan narkoba yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Survei tersebut menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada kelompok usia 15–35 tahun mencapai lebih dari 1,95% atau sekitar 2,3 juta orang pada tahun 2023.
“Fakta ini mengonfirmasi bahwa pemuda masih menjadi kelompok paling rentan terhadap bahaya narkoba,” jelas Filep.
Filep menilai kondisi tersebut sangat memprihatinkan, apalagi di tengah keterbatasan fasilitas rehabilitasi. Saat ini hanya terdapat sekitar 30 Sentra Rehabilitasi Sosial milik Kementerian Sosial, beberapa Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), serta sejumlah pusat rehabilitasi yang dikelola swasta dan masyarakat sipil.
“Jumlah tersebut belum sebanding dengan kebutuhan riil, sehingga banyak pecandu atau penyalahguna narkoba tidak terlayani dengan baik,” tegasnya.
Anggota DPD RI asal Provinsi Lampung Ahmad Bastian menegaskan bahwa fokus utama kebijakan Kementerian Sosial (Kemensos) dalam penanggulangan kemiskinan ekstrem harus diarahkan pada masyarakat yang berada di desil 1 dan 2. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan masyarakat pada desil 1 memiliki penghasilan rata-rata Rp800.000 dan desil 2 sekitar Rp880.000.
“Artinya, kelompok masyarakat di desil 1 dan 2 adalah yang paling rentan dan patut menjadi fokus utama dalam penanganan kemiskinan ekstrem,” jelas Ahmad Bastian.
Pada kesempatan itu Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menyampaikan sejak dilantik Presiden Prabowo Subianto ia telah memerintahkan agar bantuan sosial dibagi berdasarkan data yang valid.
“Jadi hulunya adalah data, maka muncul Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2025. Kami melakukan sinkronisasi bersama BPS untuk mendukung pemutakhiran Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) sebagai acuan utama dalam penetapan pemberian bantuan dan/atau pemberdayaan sosial,” tuturnya. (id10)