JAKARTA (Waspada): Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron tidak membantah potensi konflik selalu ada dalam pesta demokrasi baik pemilihan presiden di tingkat nasional, pemilihan kepala daerah (pilkada) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, juga pemilihan kepala desa (pilkades) di tingkat kelurahan atau desa.
Potensi konflik terjadi, meruncing hingga menjadi besar dan meluas apabila dibiarkan dan sengaja diciptakan.
Penyebabnya, sambung dia, karena acapkali calon kepala daerah dan tim sukses serta para pendukungnya memulainya dengan sikap pragmatis.
Lalu tercipta kelompok yang berbeda dukungan politiknya. Kemudian tercipta polarisasi di masyarakat. Hingga muncul kelompok-kelompok antar pendukung.
“Karena semua berpotensi untuk terjadinya polarisasi di masyarakat. Semuanya berpotensi untuk terjadinya konflik horizontal.
Kuncinya membangun satu pembicaraan yang secara komprehensif. Nah sekali lagi kuncinya adalah ada di para peserta. Harus ada komitmen politik sehingga kemudian diharapkan, kita bersama-sama mewujudkan pemilu damai, pilkada damai, pilkades damai. Tentu ini dapat kita wujudkan,”ujar Herman Khaeron dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI dengan tema ‘Menyongsong Pilkada Serentak 2024 dengan Penuh Damai’ di Jakarta, Kamis (19/9).
Calon Gubernur Jawa Timur, Luluk Nur Hamidah menekankan tiga hal yang harus diwaspadai terkait penyelenggaraan pilkada serentak yang akan telah ditetapkan pada 27 November 2024.
Politisi PKB yang baru saja mengundurkan diri sebagai Anggota DPR RI periode 2019-2024 karena maju sebagai Calon Gubernur (Cagub) di Pilkada Jawa Timur ini mengurai hal pertama yang harus diwaspadai adalah jangan sampai mencederai harapan publik.
Untuk itu, penyelenggara pemilu dalam hal ini KPUD, Bawaslu daerah, pemerintah pusat dan daerah setempat serta para pemangku kepentingan terkait pelaksanaan pilkada harus menghadirkan prinsip-prinsip demokrasi yang berkeadilan untuk semua kontestan yang ada.
“Karena di sana (pilkada) ada incumbent atau bahkan ada pihak-pihak yang bekerja untuk calon tertentu dengan cara-cara yang tidak patut menurut kaidah dan prinsip-prinsip demokrasi. Kita harus mengawal agar pilkada ini benar-benar menciptakan semangat dan esensi dari demokrasi yaitu keadilan,” sebut Luluk.
Kedua, menurutnya harus mewaspadai keterlibatan dari aparat keamanan khususnya yang ada ditingkat lokal atau bahkan aparatur keamanan yang sengaja diturunkan dari pusat atau dari Jakarta..
“Yang diturunkan untuk memenangkan calon pilkada di daerah baik itu tingkat provinsi ataupun juga di kabupaten atau kota.,” ungkap Luluk.
Ketiga, yang harus juga diwaspadai adalah penggunaan sumber daya yang berupa APBD atau APBN untuk memenangkan calon kepala daerah tertentu. Terkait ini, Luluk mengakui memang membutuhkan kerja ekstra untuk bisa memantau proses pemilu ini berjalan dengan fair
“Khususnya mereka yang dengan mudah akan memobilisasi APBD untuk kemenangan. Dijadikan sebagai alat pemenangan. Belum lagi dengan menggunakan alat-alat birokrasi dan unsur-unsur kekuasaan lainnya,” ujarnya.
Di forum sama, Pengamat Politik Ujang Komarudin pesimis sukses Pilkada seperti yang diharapkan dalam setiap agenda lima tahunan.
“Intinya kalau masyarakat masih miskin, masih lapar jangan berharap kita bicara demokrasi secara sehat dan berkualitas. Artinya ini akar masalah yang tidak pernah disentuh karena dari zaman 2004 sampai zaman sekarang bantuan itu satu kali dan tidak pernah mengendapkan kemiskinan. Bagi saya bukan hanya problem pemilu ada program kebangsaan,tukasnya.
Oleh karena itu dia mengatakan kelihatannya memang Pilkada kita jadi dalam konteks demokrasi prosedural teori pengajuan, bahwa demokrasi kita berjalan partisipasi tinggi tetapi dalam konteks yang lain saya ingin mengatakan kesuksesannya masih jauh.
Oleh karena itu tadi untuk membangun kualitas demokrasi yang substantif, pendidikannya diperbaiki ekonomi masyarakatnya juga diperbaiki lalu hukumnya juga diperbaiki. ungkap Ujang.(j04)