JAKARTA (Waspada,id): Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga, menyoroti potensi besar pariwisata Indonesia yang dijuluki “surga pariwisata” namun masih menghadapi persoalan ketimpangan tata kelola dan ekosistem yang belum merata.
Wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumut II ini mengungkapkan data devisa pariwisata pada tahun 2024 yang mencapai Rp243 triliun. Mirisnya, 44 persen dari angka tersebut masih terkonsentrasi di Bali, sementara 56 persen lainnya tersebar di seluruh Indonesia.
Menurutnya perlunya dorongan ekstra dari pemerintah untuk mengembangkan destinasi di luar Bali agar manfaat ekonomi dari sektor ini dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Artinya ini ada ketimpangan . Karenanya perlu dorongan ekstra dari pemerintah untuk mengembangkan destinasi di luar Bali agar manfaat ekonomi dari sektor ini dapat dinikmati oleh masyarakat luas, kata Lamhot Sinaga, saat memimpin pertemuan kunjungan kerja reses di Bali, Jumat (31/10/2025).
Padahal, lanjutnya, pada tahun 2019, sebelum sektor ini digarap serius, pariwisata sudah menghasilkan devisa yang mengalahkan sektor migas, tambang, dan ekspor.
Guna mengatasi ketimpangan, pemerintah kala itu menetapkan 10 Destinasi Prioritas yang kemudian dikerucutkan menjadi 5 Destinasi Super Prioritas (DSP), seperti Danau Toba, Sumatera Utara, Likupang, Sulawesi Utara, Mandalika, Nusa Tenggara Barat, Borobudur, Jawa Tengah dan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Bali tidak masuk dalam kategori 5 DSP karena dinilai sudah survive dan mendunia.
Untuk mendorong pemerataan, DPR melalui fungsi legislasi, pada bulan lalu telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Salah satu poin penting dalam UU baru ini adalah klasifikasi pembangunan pariwisata yang didorong untuk tumbuh dari bawah, yakni melalui pengklasifikasian. Desa Wisata, Desa Rintisan, Desa Berkembang, Desa Maju, dan Desa Mandiri.
Lamhot membandingkan kondisi dengan Bali, di mana hampir 90 persen masyarakatnya hidup dari pariwisata, sedangkan kawasan lain seperti Danau Toba (meliputi 7 kabupaten), Labuan Bajo, dan Raja Ampat, masyarakat di sekitarnya belum hidup dari pariwisata.
Targetnya, UU baru ini diharapkan akan menciptakan sumber ekonomi baru bagi masyarakat di daerah wisata tersebut.”Kita ingin mendorong bahwa pariwisata ini juga menjadi sumber ekonomi rakyat ,” tukasnya.
Selain itu, politisi dari Partai Golkar ini juga membandingkan capaian pariwisata Indonesia dengan negara tetangga. Menurutnya persoalan mendasar, rendahnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Indonesia adalah masalah aksesibilitas dan konektivitas.
Ia mencontohkan, wisatawan yang ingin ke Gili Trawangan sering memilih penerbangan melalui Bali, bukan Lombok, karena ketiadaan aksesibilitas.Hal ini membuat Bali menjadi hub (titik penghubung ) dan menyebabkan isu overtourism serta kenaikan harga tiket.
Sementara itu, harga tiket yang mahal juga menjadi kendala. Ia mencontohkan harga tiket ke Maluku yang jauh lebih mahal daripada berwisata ke Thailand. Lamhot pun mendesak pihak terkait untuk memikirkan ekosistem pariwisata secara keseluruhan, termasuk mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan ekonomi kreatif yang menopang pariwisata.
“Dukungan dari UMKM dan ekonomi kreatif ini juga sebagai penopang terhadap pariwisata. Wisata itu kan nggak boleh hanya melihat view,” tandas Lamhot Sinaga, sembari mengingatkan pentingnya orkestrasi dan koordinasi birokrasi antar-lembaga dalam pengembangan pariwisata nasional.(id10)













