JAKARTA (Waspada) : “Living Malays are Living Law.” Frasa ini bukan hanya permainan kata. Ia adalah tesis kultural dan politik hukum. Ia mengguncang batas disiplin, menjungkirkan positivisme beku, dan mengangkat orang Melayu bukan sekadar sebagai subjek hukum, melainkan sebagai sumber hukum, sebagai hukum itu sendiri yang hidup, bergerak, dan berjiwa.
Dalam semangat teori Living Law ala Eugen Ehrlich, hukum sejatinya tak semata tertulis di kitab undang-undang, melainkan hidup dan mengalir dalam pergaulan sosial, dalam adat, dalam laku harian masyarakat. Hukum bukan statuta, melainkan struktur sosial yang hidup.
Begitu pula dengan Melayu. Melayu bukan sekadar kategori rasial atau geopolitik. Melayu adalah Living Entity—entitas hidup. Dan karena ia hidup, maka ia memproduksi hukum. Maka: Living Malays are Living Law. Beranjak dadi adagium “dimana ada masyarakat maka di sana ada hukum yang hidup”.
Lebih jauh, pernyataan ini juga mengandung gema Living Constitution, sebuah pemahaman bahwa konstitusi bukan teks mati, melainkan dokumen hidup yang tumbuh bersama dinamika zaman.
Seperti pohon hidup dalam doktrin Living Tree of Constitution di Kanada, yang bertumbuh sesuai kebutuhan dan nilai masyarakatnya.
Maka Melayu, sebagai bagian dari bangsa yang konstitusional, bukan sekadar subjek pasif. Ia adalah bagian dari pohon hukum itu, dari akar sejarah ke daun-daun kontemporer. Ia tak hanya memikul hukum; ia adalah cabang yang ikut menentukan arah pertumbuhan.
Hukum sebagai Produk Budaya: Melayu Sebagai Arsip yang Bernyawa
Dalam paradigma ini, hukum tak bisa dipisahkan dari budaya. Produk hukum adalah produk budaya. Tanpa memahami struktur budaya, termasuk struktur bahasa, simbol, adat, dan rasa malu (malu dalam tafsir moral), maka hukum kehilangan daya. Melayu sebagai Living Culture memproduksi sistem nilai: dari adat bersendikan syara’, hingga pantang-larang dan tata krama bermusyawarah.
Contoh konkret dari Living Malays are Living Law hadir dalam praktik: bagaimana orang Melayu menyelesaikan sengketa tanah ulayat, waris adat, hingga praktik musyawarah kampung. Hukum di sini tak memerlukan toga dan palu sidang, tetapi cukup dengan sirih pinang, duduk bersila, dan sepatah kata tua adat. Di situlah hukum hidup dan ditransmisikan. Itulah Living Law dalam tubuh dan bahasa Melayu.
Melayu, CLS, dan Perlawanan terhadap Hukum Otoritatif
Dalam pendekatan Critical Legal Studies (CLS), hukum bukan netral dan bebas nilai. Ia adalah arena tarik-menarik kekuasaan. Hukum formal seringkali menjadi alat dominasi kelas dan budaya tertentu terhadap yang lain. Maka dalam konteks Melayu, CLS memberi pisau tajam: hukum kolonial dan post-kolonial terlalu sering menjadikan hukum adat Melayu sebagai “pengetahuan eksotis”, yang diawetkan untuk tujuan wisata budaya atau legitimasi simbolik negara.
Padahal, hukum Melayu adalah sistem normatif yang hidup, yang sanggup menandingi bahkan mengoreksi ketimpangan hukum negara. Maka Living Malays adalah Living Resistance: sebuah pembangkangan epistemik terhadap monarki hukum formalistik yang buta budaya.
Di sinilah semangat Tan Malaka menyeruak. Ia berkata, “Marilah kita menjadi pemikir dan pejuang sekaligus.” Maka orang Melayu tak cukup menjadi pelestari adat—ia harus menjadi pembaru hukum, pembongkar penindasan, dan pembangun sistem hukum baru berbasis nilai budaya yang hidup.
Sebab jika tidak, Melayu akan terus menjadi artefak, bukan aktor; menjadi objek studi, bukan subjek pembentuk.
Penutup: Dari Slogan ke Gerakan
Frasa Living Malays are Living Law bukan kutipan akademik. Ia adalah senjata budaya. Ia mengandung panggilan beradab (Ethical Call) untuk menolak dikotomi antara hukum negara dan hukum rakyat. Ia adalah ajakan untuk menggugat dominasi hukum yang mematikan, menggantinya dengan hukum yang bernapas: yang memahami rasa, yang menyatu dalam masyarakat, dan yang mencerminkan wajah Melayu yang hidup.
Dalam pola bahasa bertenaga ala Tan Malaka, “Pergerakan adalah hidup. Diam adalah mati.” Maka mari kita hidupkan hukum dengan menghidupkan manusia dan budayanya. Hidupkan Melayu, maka hidup pula hukum. Karena Living Malays are Living Law.
Allahu’Alam. Tabik.
Penulis: Adv. Muhammad Joni, SH.MH; (Ketua bidang Sospol-Hukum dan Advokasi Pengurus Besar Ikatan Sarjana Melayu Indonesia/ PB ISMI, musyafir Langkat).