JAKARTA (Waspada.id): Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai revisi Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSDK) semakin mendesak untuk dibahas, seiring meningkatnya kompleksitas kasus yang membutuhkan perlindungan dan bantuan bagi saksi maupun korban.
Pasalnya, kerangka hukum yang ada saat ini tidak lagi memadai untuk menjawab kebutuhan lapangan, mulai dari keterbatasan kewenangan hingga prosedur administrasi yang menghambat perlindungan darurat.
Anggota LPSK Susilaningtias mengemukakan hal itu dalam Forum Legislasi bertajuk “Upaya Konkret DPR RI Memaksimalkan Perlindungan bagi Saksi dan Korban Lewat RUU PSDK” di Jakarta, Selasa (18/11),
Menurut Susilaningtias usia LPSK yang memasuki 18 tahun dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang akan genap 20 tahun pada 2026 menjadi momentum tepat untuk pembaruan regulasi.
“Dalam praktik, banyak ketentuan yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan perlindungan modern. Ada kekurangan, ada kelebihan, namun kita perlu menyempurnakan agar layanan kepada publik semakin kuat,” ujarnya.
Dia menilai sistem perlindungan saksi dan korban di Indonesia lebih maju dibanding banyak negara Asia Tenggara, bahkan Asia. Keistimewaan Indonesia, menurutnya, terletak pada integrasi antara perlindungan saksi dan pemberian bantuan korban dalam satu lembaga. “Negara lain biasanya memisahkan fungsi itu. Di Indonesia, LPSK menjalankan keduanya,” katanya.
Namun keunggulan tersebut dibarengi tantangan berat, terutama karena lingkup kejahatan semakin luas, termasuk tindak pidana terkait kehutanan, lingkungan, hingga pelanggaran HAM yang belum tercakup sepenuhnya dalam UU yang berlaku. Untuk itu, LPSK mengusulkan agar kategori tindak pidana prioritas diperluas. Saat ini terdapat 10 jenis tindak pidana yang menjadi dasar kerja LPSK.
“Kami berharap undang-undang memasukkan kejahatan lingkungan dan kehutanan yang menuntut perlindungan saksi dan korban yang lebih komprehensif,” kata Susilaningtias.
Selain itu, LPSK meminta perluasan kewenangan dalam hal restitusi, bantuan korban, serta penguatan subjek hukum yang dapat dilindungi. Salah satu poin penting adalah perlindungan terhadap informan, yang selama ini sering berperan besar dalam penegakan hukum tetapi belum memiliki dasar perlindungan memadai.
“Kami juga mengusulkan masuknya mekanisme victim impact statement, yakni penyampaian langsung dampak kejahatan oleh korban untuk dipertimbangkan hakim dalam proses peradilan,” demikian Susilaningtias.(id89)












