JAKARTA (Waspada) :: Meski Malaysia mengenakan pajak layanan kesehatan (SST) sebesar 6% hingga 8%, faktanya biaya berobat ke negeri jiran itu masih lebih murah dibanding di Indonesia. Fakta ini menjadi sorotan Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia (PPHKI), Muhammad Joni, S.H., M.H., dalam analisis kritisnya terhadap sistem pembiayaan kesehatan nasional.
“Pajak bukan penyebab utama mahalnya layanan medis di Indonesia. Justru kebijakan fiskal dan distribusi yang tidak efisien membuat biaya medis di tanah air melonjak—bahkan untuk layanan dasar,” tegas Joni dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/7).
Setiap tahun, lebih dari 600.000 WNI berobat ke luar negeri, mayoritas ke Malaysia. “Ironisnya, mereka memilih Malaysia bukan hanya karena kualitas, tapi karena harga lebih masuk akal. Bahkan setelah dikenakan pajak 6%, biaya layanan tetap 30–40% lebih rendah dibanding rumah sakit di Indonesia,” ungkap Joni.
Menurut kajian PPHKI, tingginya biaya layanan kesehatan di Indonesia dipicu oleh beberapa kebijakan fiskal yang kontraproduktif, antara lain:
Alat kesehatan masih dikategorikan sebagai barang mewah, dikenai PPnBM hingga 40%.
Obat-obatan melewati rantai distribusi panjang hingga harga naik berlipat
Tidak ada batas atas (price cap) atau regulasi biaya transparan di sektor rumah sakit swasta
Desakan Reformasi Sistemik
PPHKI mendorong pemerintah untuk melakukan koreksi kebijakan melalui langkah-langkah konkret:
- Cabut status barang mewah dari alat kesehatan dan layanan medis dasar
- Sederhanakan distribusi obat untuk memangkas harga
- Audit tarif layanan medis swasta, dan tetapkan harga maksimum
- Harmonisasi fiskal dan kesehatan antara Kementerian Keuangan, Kemenkes, dan BPJS.
“Selama kebijakan fiskal kita tidak adil terhadap rakyat sendiri, rakyat akan terus berobat ke luar negeri. Kita bukan hanya kehilangan devisa, tapi juga kehilangan kepercayaan terhadap sistem,” tutup Joni. (j01)