JAKARTA (Waspada): Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung dibahas di DPR. RUU tersebut telah resmi diputuskan dalam rapat paripurna menjadi usul inisiatif DPR satu tahun yang lalu, dan Presiden telah mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke pimpinan DPR serta menunjuk kementerian yang mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU PPRT bersama DPR, namun RUU PPRT tak kunjung dibahas bersama antara pemerintah dan DPR.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT Willy Aditya menyebut mandeknya pembahasan RUU PPRT terkendala oleh Ketua DPR Puan Maharani.
“Kendalanya di Ketua DPR. Ketua DPR-nya nggak mau bahas-bahas di paripurna,” ungkap Willy Aditya dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘RUU PPRT Sebagai Upaya Melindungi Pekerja Rumah Tangga’ di Ruang Pusat Penyiaran dan Informasi Parlemen (PPIP), Jakarta, Selasa (30/7).
Soal alasannya, Willy mengaku tidak tau pasti. “Ditanyakan aja kepada Ketua DPR. Teman-teman bisa tanya ke PDI Pejuangan,” tukas Willy.
Sebelumnya politisi Nasdem itu berharap jika RUU PPRT disahkan merupakan hadiah atau kado bagi DPR periode 2019-2024 tinggal satu masa sidang sebelum berakhir. Selain itu harus kita hargai juga bagian dari integrasi
Jokowi.
“Pak Jokowi sudah kirim surpres (sirat presiden) dan sudah ada timnya. Kami (DPR) sudah bangun dengan tim yang dibentuk pemerintah. Nah tinggal pimpinan kasih kode saja. Saya pikir ini enggak sampai seminggu selesai ini sebagai kado terindah dari periode ini untuk membela rakyat,”ujar Willy.
Soal mandeknya pembahasan RUU PPRT Willy menjelaskan. ada perbedaan pandangan dalam menyikapi status pekerja rumah tangga. Sejak diajukan dan disusun sejak 20 tahun lalu, mulai periode masa keanggotaan DPR 2004-2009 sampai periode 2019-2024, RUU PPRT telah mengalami beberapa kali perubahan judul.
Penamaan istilah pekerja rumah tanggal menjadi salah stau titik krusial perbedaannya. Menurut Willy, di periode keanggotaan DPR RI 2019-2024 saat ini, RUU ini dinamakan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
“Tidak pakai istilah pembantu, tidak pakai istilah asisten,” sebut Politisi Partai NasDem ini.
Jika merujuk UU Nomor 13 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan, hanya menyebut pekerja sebagai orang yang bekerja di sektor barang dan jasa. UU Ketenakerjaan tidak mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja.
“Hanya menyebut pekerja sebagai orang yang bekerja di sektor barang dan jasa. Mereka yang bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga, pekerja sosial. Itu tidak diakui sebagai pekerja,” terang Willy.
Dampaknya, kata Willy, pekerja rumah tangga tidak mendapat jaminan perlindungan oleh UU. Padahal, pekerja rumah tanggak juga pekerja yang harusnya mendapat hak dan kewajiban sama sebagai warga negara.
“Pertama yang ingin kita atur adalah bagaimana ada perlindungan. Karena apa? Sejauh ini karena mereka tidak pernah diakui sebagai status pekerja. Dan itu ada di dalam ruang-ruang yang masih dianggap baik. Karena rumah tangga kemudian kita mencoba masuk dengan narasi perlindungan,” ujar Willy.
Dengan demikian, ia berharap ada standing point berupa perlindungan kepada pekerja rumah tangga yang memang rentan mengalami diskriminasi.
Kedua, sambung dia, adanya kecenderungan pekerja rumah tangga mengalami kekerasan, eksploitasi.
Willy tidak membantah karena memang pekerja rumah tangga selama ini umumnya tidak diwadahi oleh badan hukum. Oleh karena itu, ke depan RUU ini menekankan pada perizinan yang izinnya akan dikeluarkan di tingkat kabupaten/kota.(j04)