Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Pemerintah Harus Reformulasi Ulang Kebijakan ‘Mandatory Spending’ Anggaran Pendidikan

Pemerintah Harus Reformulasi Ulang Kebijakan 'Mandatory Spending' Anggaran Pendidikan
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi . (Ist)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi menilai postur anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ( APBD) perlu direformulasi. Hal ini penting agar rakyat Indonesia memperoleh layanan pendidikan yang layak, terjangkau, dan berkeadilan.

“Urgensi pertemuan hari ini supaya kami mendapatkan pandangan yang benar dan tepat mengenai implementasi mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD seperti yang diamanatkan konstitusi. Kami melihat anggaran pendidikan besar tapi Kemendikbudristek hanya memperoleh anggaran sedikit untuk mengurus pendidikan nasional kita. Ini jadi tanya kami,” ujar Dede saat rapat dengar dendapat umum Komisi X DPR dengan Mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas periode 2014-2021 Bambang Brodjonegoro di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Jumat (30/8/2024).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pemerintah Harus Reformulasi Ulang Kebijakan 'Mandatory Spending' Anggaran Pendidikan

IKLAN

Berdasarkan laporan yang dirinya terima, Kemendikbudristek selaku kementerian yang mengurus sektor pendidikan hanya mengelola 15 persen atau setara Rp98,99 triliun dari keseluruhan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun. Sebanyak 33 persen lainnya atau setara Rp219,48 triliun disebar di Kementerian Agama, K/L lainnya, dan Kementerian Keuangan sebagai pengelola anggaran pembiayaan pendidikan serta anggaran pendidikan non-K/L.

Proporsi terbesar sebesar 52 persen atau setara Rp346,56 triliun dialokasikan untuk dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).

Laporan ini, menurutnya, membuat Kemendikbudristek tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran pendidikan di luar pengajuan anggaran Kemendikbudristek.

Di sisi lain, hanya 6 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia yang menganggarkan 20 persen dari APBD untuk sektor pendidikan. Tidak hanya itu saja, sekolah kedinasan diketahui masih dibiayai dari anggaran pendidikan APBN atau APBD.

Seharusnya, jika mengacu pada putusan MK Nomor 011/PUU-III/2005 pada tanggal 19 Oktober 2005 dan putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007 tanggal 20 Februari 2008, sekolah kedinasan tidak lagi dibiayai dari anggaran pendidikan yang berasal dari APBN dan/atau APBD. Sebab itu, mewakili Panja Pembiayaan Pendidikan, dirinya menegaskan kebijakan anggaran pendidikan perlu dikembalikan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Sebagai informasi, Bambang Brodjonegoro mendukung adanya kebijakan reformulasi mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Menurutnya, ada 4 poin yang menjadi akar permasalahan tidak efektif dan tidak efisiennya penyaluran alokasi anggaran pendidikan.

Di antaranya, pendidikan kedinasan masih didanai oleh 20 persen anggaran pendidikan, pemanfaatan anggaran pendidikan untuk belanja yang langsung pada penyelenggaraan pendidikan semakin menurun, baik secara kuantitas maupun kualitas, pemanfaatan anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk Dana Transfer Umum (DTU) dan Otsus tidak transparan dan tidak berbasis data serta pemerintah daerah belum berkomitemen penuh untuk mengalokasikan 20 persen APBD untuk anggaran pendidikan.

“Kebijakan anggaran pendidikan ini, ke depannya, harus dibuat tegas dan jelas supaya tidak muncul multiinterpretasi. Sehingga, anggaran pendidikan ini bisa langsung dirasakan oleh rakyat Indonesia,” pungkas Bambang. (j05)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE