JAKARTA (Waspada): Pakar Vulkanologi & Bencana Gunung Api Surono mengatakan, pemerintah harus tegas dalam upaya mitigasi bencana.
Pemerintah daerah juga harus mengutamakan perlindungan warganya ketimbang kesejahteraan.
“Harus ditegakkan mana yang layak huni dan tidak untuk mitigasi bencana. Dan harus ada law enforcement (penegakan hukum) yang kuat. Peta sudah ada dan berharap Pemerintah Daerah mengikutinya,” kata Surono dalam Gelora Talks bertajuk ‘Indonesia dan Ancaman Bencana Alam, Bagaimana Kita Memitigasinya? di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Sebelumnya, Koordinator Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Iman Fatchurochman mengatakan, BMKG telah berupaya untuk memitigasi meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan dampak dari kerusakan yang akan ditimbulkan dari bencana yang terjadi.
BMKG juga telah membahas, serta menyodorkan peta rawan bencana dengan mengajak keterlibatan pemerintah daerah untuk memitigasinya. Wilayah Indonesia itu ada 13 zona megatrust, serta 295 sesar aktif yang harus diwaspadai.
Surono yang akrab dipanggil Mbah Rono menegaskan, bahwa gempa bumi tidak membunuh, tetapi infrastrukturnya yang membuat masyarakat menjadi korban.
Hal ini akibat banyak pihak yang tidak mematuhi UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, padahal ancaman hukuman pidana dan dendanya sangat jelas.
“Seluruh daerah rawan bencana itu enak ditinggali, karena mata airnya banyak. Seperti lokasi likuifaksi di Palu, itu sudah direkomendasikan untuk tidak ditinggali, karena masuk peta rawan bencana. Pemerintah daerahnya mengizinkan dan masyarakatnya tidak mau dipindah, maunya tinggal di situ. Dan kita sudah lihat dampaknya seperti apa,” ujar Mbah Rono.
Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM ini berharap agar masyarakat yang berada di daerah rawan bencana harus kembali ke alam atau back to nature.
“Nenek moyang kita itu, sebenarnya sudah menciptakan bangunan yang tahan gempa dan tahan gerakan tanah. Bangunan rumah itu, contohnya bisa kita lihat rumah orang Sunda, Sumatera Barat, Baduy dan lain-lain. Mereka bikin rumah panggung, pendek saja tidak terlalu tinggi. Nenek moyang kita sudah sangat empiris, tetapi itu semua kita tinggalkan,” katanya.
Mbah Rono menilai perlu ada kebijakan politik atau political will yang tegas dari pemerintah untuk mengubah perilaku tersebut. Sebab, percuma jika investasi triliunan rupiah dalam membangun infrastruktur, tanpa dibarengi dengan resiko bencananya.
“Itu hanya satu detik, tiga detik semua habis. Jangan berlindung dibalik kata investasi, tanpa memperhitungkan resiko bencana. Yang mematikan itu bukan gempa buminya, atau gunung meletus, tetapi infrastruktur yang membunuh kita. Kalau kita bandel sama alam, tentu akan ada harga yang harus dibayar,” pungkasnya.
Rumah Tahan Gempa
Sedangkan Kepala Pusat Data Informasi (Pusdatin) dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, untuk meminimalisir korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat gempa bumi, diperlukan bangunan atau rumah tahan gempa.
“Gempa Cianjur magnitude 5,6 itu kerusakan luar biasa, karena kondisi rumah atau bangunannya tidak tahan gempa. Kini tercatat 334 jiwa meninggal, 37 ribu rumah rusak belum termasuk sekolah,” kata Muhari.
BNPB, kata Muhari, telah berbicara dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar meminta Kementerian Desa dan PDTT untuk ikut serta merenovasi bangunan rumah masyarakat agar tahan gempa dengan biaya murah.
“Kita mengajak masyarakat untuk merehab bangunan rumah sendiri agar tahan gempa, misalkan diberi bantuan Rp 15 juta. Kita telah meminta Menteri Desa agar bisa menggunakan Dana Desa untuk perbaikan rumah masyarakat di pelosok desa. Begitu kita ngomong ini, sama Pak Menteri Desa, beliau sudah langsung oke dan akan segera keluarkan SK menteri, bahwa Dana Desa bisa untuk penanggulangan bencana,” katanya.
Renovasi bangunan rumah tahan gempa itu, lanjutnya, dapat diselesaikan dalam kurun waktu 10 tahun, bagi rumah yang sudah terdampak gempa, maupun berpotensi di seluruh Indonesia.
“Kita akan memperkuat bangunan masyarakat dengan beberapa metodologi, sehingga bangunanya tahan gempa. Metodologi dan biayanya tergantung type rumahnya, semacam bedah rumah saja. Nanti kita lihat desa mana yang rawan, itu yang kita prioritaskan,” katanya. (J05)