JAKARTA (Waspada): Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengingatkan pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tentang bahaya bencana bagi peradaban.
“Sejarah dunia bisa berubah karena persoalan bencana,” ujar Hasto dalam Seminar Nasional bertajuk “Mitigasi Bahaya Secara Cepat Sebagai Upaya Antisipasi Dini Untuk Memahami Potensi Bahaya Gempa Bumi dan Resikonya”, di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Kamis, (2/32023).
Hasto menjelaskan, saking dahsyatnya efek yang bisa muncul dari bencana, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri langsung meminta agar diinformasikan, bahwa bencana dari sejarah terbukti bisa mematikan peradaban.
“Apalagi kita diingatkan oleh bencana di Cianjur dan yang sangat dahsyat di Turki dengan korban yang luar biasa bersama dengan Suriah di atas 30.000 korban jiwa. Dan kita masih ingat apa yang terjadi di Aceh lebih dari 200.000 korban jiwa,” ungkap Hasto.
Hasto menyebut sejak awal PDIP diminta menaruh perhatian yang begitu besar terhadap kebencanaan.
“Bahkan melalui perintah harian Ibu Megawati setiap tanggal 26 dijadikan untuk mengadakan simulasi penanganan bencana di seluruh wilayah dimana kader-kader PDIP memimpin,” lanjutnya.
Ia memaparkan betapa bencana alam adalah sesuatu yang sulit untuk diprediksi. Karena memang dari pengembangan teknologi pun, sampai sekarang masih belum ditemukan teknologi yang real time mampu mengindikasi berbagai bahaya bencana, khususnya tsunami.
Kalau terkait vulkanik, sambung Hasto sudah bisa melihat berbagai indikasi dapat diramalkan dengan baik, tetapi akibat patahan tektonik masih belum. Buktinya bisa dilihat kejadian di Turki, terjadi pada dini hari saat rakyat sedang tidur nyenyak dan tidak mempersiapkan diri untuk melakukan penyelamatan.
“Bencana gempa bumi dengan korban jiwa yang begitu besar, maka kita harus melaksanakan langkah-langkah yang komprehensif dari hulu berupa membangun kesadaran di daerah bencana,” kata Hasto.
Ahli geologi dan pakar kebencanaan Ir. Surono (Mbah Rono) mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap fenomena alam, yang kemudian dianggap bencana karena menimbulkan korban jiwa.
Mbah Rono menjelaskan, pertanyaan besar yang jawabannya harus diingat bersama adalah, kenapa bencana alam seperti gempa bumi, longsor, gunung meletus, termasuk tsunami menimbulkan korban jiwa?
Jawabannya adalah karena infrastruktur bangunannya serta permukimannya yang tidak tepat. Maka tak heran, ketika terjadi gempa di Cianjur yang tidak begitu besar, namun menimbulkan banyak korban jiwa.
“Gempa enggak membunuh. Yang salah adalah bangunan yang ditempati. Karena kita salah tempat dan salah bangunan. Sesimpel itu sebetulnya,” terangnya.
Menurutnya, hampir seluruh daerah di Indonesia rawan bencana. Baik gempa bumi, longsor, letusan gunung dan sebagainya. Dan setiap ada bencana pasti banyak korban, karena di lokasi bencana itu penduduknya pasti banyak.
Lantas kenapa di daerah rawan bencana banyak penduduknya? Tak lain karena daerah-daerah itu sangat nyaman dan enak untuk ditempati. Alamnya indah, subur, airnya banyak. Menjadi lokasi pariwisata, pertanian, nelayan.
“Jadi sebenarnya daerah rawan bencana di Indoensia sangat ekonomis dan di sisi lain sangat rawan bencana. Kita kaya mineral, batubara, minyak gas bumi, serta pertanian, perkebunan dan perikanan. Tapi di sisi lain rawan gunung meletus, gempa bumi, longsor, dan tsunami,” urainya.
Ia menilai masyarakat yang menjadi korban kadang tak punya pilihan, karena mereka dengan keterbatasannya, mau tak mau terpaksa menempati lokasi yang rawan benacana.
“Maka persoalan itulah yang harus dientaskan dan dibantu. Subyek bencana adalah masyarakat. Mari kita lihat dan rasakan wajah kecemasan mereka, dan mari ajarkan mereka untuk mengatasi ancaman bencana itu,” imbuhnya.
Dikatakannya manusia adalah sebagai tamu di bumi, karena alam seperti gunung, laut, hutan semua itu sudah ada sebelum kita lahir ke bumi.
Karena manusia datang belakangan, Mbah Rono mengingatkan agar jika ada di daerah yang rawan bencana maka buatlah bangunan yang tahan gempa.
Seperti nenek moyang kita dulu, memakai rumah panggung dari kayu yang sebenarnya aman dari runtuhan akibat gempa. Seperti di Jawa Barat, Nias, Karo, dan hampir semua daerah di Indonesia.
“Itu karena nenek moyang kita belajar dari alam. Sama seperti Isaac Newton melihat apel jatuh, lalu menemukan teori gravitasi. Dan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya menyeimbangkan antara kemauan alam dan kemauan manusia agar tidak saling berbenturan,” imbuhnya.
Karenanya, Mbah Rono sangat mengapresiasi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang sangat concern terhadap riset kebencanaan.
Sebab selama ini, kata Mbah Rono, biaya riset tidak seimbang dengan biaya tanggap darurat dan kerugian bencana.
“Mitigasi bencana tanpa riset itu: Gagal sudah pasti, berhasil kebetulan,” ungkapnya.
Sebagai gambaran data, Mbah Rono memaparkan catatan BNPB, Gempa bumi 2018 di Nusa Tenggara Barat menghabiskan biaya tanggap darurat dan kerugian mencapai Rp18,25 triliun. Gempa bumi Sulawesi Tengah 2018 (Rp 23,16 triliun), Tsunami Selat Sunda 2018 (Rp 708,94 miliar), Banjir Sulawesi Selatan 2019 (Rp 926,96 miliar) dan Banjir bandang Sentani, Papua 2019 (Rp668,4 miliar).
Ia juga menjelaskan bahwa riset itu penting namun lebih penting lagi bila riset kebencanaan dapat bermanfaat dalam pengurangan risiko bencana.
“Riset masih belum dianggap investasi jangka panjang dalam penataan ruang berbasis hidup harmoni dengan alam,” kata Mbah Rono. (irw).