JAKARTA (Waspada): Politisi lintas fraksi di DPR RI mengingatkan aparat untuk menerapkan UU ITE (Informasi dan Traksaksi Elektronik) secara tegas mengantiasipasi maraknya berita bohong, hoax, fitnah dan ujaran kebencian demi memenangkan kandidat calon presiden -calon wakil presiden (capres-cawapres), calon anggola legislatif ( caleg) dan kepala daerah pada Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari 2024 mendatang.
Para politisi yang berpendapat itu adalah anggota DPR RI Fraksi Demokrat Herman Khaeron, Syaifullah Tamliha dari Fraksi PPP, Yanuar Prihatin dari Fraksi PKB , Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik, dan pengamat politik Ujang Komarudin .
Mereka mengemukakan pendapatnya dalam dialektika demokrasi ‘Bersama Mencegah Hoaks dan Kampanye Hitam Jelang Pilpres 2024’, agar ada efek jera kepada pelakunya dan tidak berpotensi memecah-belah masyarakat di Media Center Parlemen, Jakarta, Kamis (2/11).
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Yanuar Prihatin memprediksi menjelang hari H Pemilu pada 14 Februari 2024 yang menyisakan waktu sekitar 3 bulan lagi, penyebaran hoaks meningkat.
“Pada Pilpres 2019, gejolak lebih kuat di bawah. Namun di tingkat elite, lebih santai,” ungkap Yanuar.
Pada pilpres kali ini, ombaknya justru lebih kencang di tingkat elite. Sebaliknya, riak di masyarakat biasa saja. Bahkan mereka nyaris tidak peduli siapa saja yang menjadi capres atau cawapresnya,” ujarnya.
Masyarakat juga tidak saling serang dengan kelompok lain yang berbeda pilihan. Gelombang tinggi justru berada di tingkat elite.
“Ada sejumlah manuver yang dilakukan oleh para elite. Jika gelombang ada di tingkat elite, maka efeknya akan lebih besar dan merambat ke mana-mana,” tandasnya.
Hal itu tak lepas dengan kecepatan yang dihasilkan oleh gelombang tinggi, sehingga, hoaks akan tumbuh di lahan yang subur.
“Gelombang yang tinggi akibat perseteruan antar elite adalah lahan subur untuk hoaks. Lain halnya bila lahannya kering,” kata Yanuar.
“Jadi, pemilu yang terbaik itu semua harus menjaga agar hoaks itu dihindari. Aparat sudah bagus mulai bergerak menjelang pemilu, sehingga para penegak hukum harus menunjukkan eksistensinya,” ujar Yanuar.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron mengkritisi lembaga survei yang di duga ikut bermain politik praktis ikut mendukung pasangan capres cawapres tertentu. Kemudian, menyampaikan ke publik mengenai hasil survei yang ditengarai tidak sesuai fakta di lapangan.
“Terutama bila hasil temuan dan analisisnya bukanlah kebenaran yang obyektif. Karena, sesuatu yang dibuat seolah-olah merupakan fakta namun bukan yang sebenarnya, lebih membahayakan dibandingkan hoaks yang dibuat oleh orang biasa,”ujarnya.
Sebab, menurut Herman Khaeron sebagian masyarakat masih meyakini temuan lembaga survei adalah ilmiah dan menggunakan metodologi penelitian yang benar, sehingga bila lembaga survei menyalahgunakannya, maka hal itu berbahaya bagi demokrasi.
“Akan ada fenomena post truth. Dimana kondisi faktual dan kebenaran akan kalah dibanding dengan daya tarik emosi masyarakat,” ujarnya.
Kepada capres dan cawapres beserta tim pemenangan, simpatisan dan para pendukubgnya, dia mengingatkan bila semua pasangan calon (paslon) dan pendukungnya mengedepankan kampanye negatif, maka akan sulit mengintegrasikan kembali. Sebab, polarisasi akan terus berlangsung.
Saifullah Tamliha justru khawatir dalam Pilpres 2024 kali ini akan ada keterlibatan intelijen dan ini paling berbahaya.
“Termasuk berita-berita yang besar dan orang itu seolah-olah bagus terus. Itu bisa dicitrakan dan saya tahu tarifnya berapa? Kita mengertilah, tapi kalau masyarakat itu buat lucu-lucuan aja. Termasuk PPP yang dipersepsikan hanya memperoleh 2,7 persen buktinya PPP lolos parlemen,” ungkapnya.
Pengamat Politik Ujang Komarudin mengatakan, hoaks akan terus muncul. Hal itu karena tidak ada narasi pembanding.
“Narasi pembanding adalah ide, gagasan, program yang disampaikan oleh para kandidat. Jika narasi dimunculkan, maka hoaks akan mereda dengan sendirinya,” sebut Ujang.
Tidak mengherankan bila Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis sekitar 800 ribu web site terindikasi menyebarkan hoaks.
“Apalagi jika yang bertarung dalam pemilu nanti adalah berita palsu. Maka, tidak ada lagi ruang intelektualitas, karena yang ada hanyalah informasi palsu yang dianggap sebagai kebenaran,” tegas Ujang.(j04)











