Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Persiapan Persenjataan, Indonesia Harus Melirik China

Persiapan Persenjataan, Indonesia Harus Melirik China
Dialektika Demokrasi dengan tema: Mitigasi Geopolitik Indonesia Menghadapi Dampak Perang India-Pakistan' kerjasama Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan Biro Pemberitaan DPR RI, Jumat (16/5/ 2025). (Waspada/Ramadan Usman)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Syahrul Aidi Maazat menyatakan kemenangan Pakistan dalam perang terbuka di udara melawan India itu karena didukung oleh kekuatan teknologi yang berasal dari China.

Kehebatan jet tempur Pakistan buatan China menembak jatuh lima jet tempur India mencakup tiga jet tempur Rafale buatan Perancis, satu MiG-29 buatan Amerika Serikat (AS) dan satu jet tempur Sukhoi SU-30 buatan Rusia telah mengejutkan masyarakat internasional.

Insiden itu telah mendongkrak reputasi China yang bukan hanya dikenal sebagai negara dengan perekokomian sangat kuat tetapi juga sebagai negara produsen pesawat alat-alat perang terbaik.

“Padahal, India memiliki teknologi dan alat tempur yang berasal dari Amerika, Rusia dan lain-lain,” kata anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Syahrul Aidi Maazat dalam Dialektika Demokrasi bertajuk, ‘Mitigasi Geopolitik Indonesia Menghadapi Dampak Perang India-Pakistan’ di Jakarta, Jumat (16/5).

Menurut Syahrul, kemampuan teknologi perang China terhadap dominasi AS dan Rusia telah membuat perubahan masyarakat internasional terutama negara-negara di Timur Tengah.

“Setelah perang Pakistan-India, kekuatan teknologi tempur dan alat perang sekarang dipegang oleh China. Indonesia harus mempersiapkan diri untuk persenjataan dan harus melirik China,” ujar Syahrul yang juga Anggota Komisi I yang membidangi pertahanan dan luar negeri itu.

Indonesia katanya lagi. meski menjalankan politik bebas aktif dalam arah kebijakan luar negerinya sesuai amanat konstitusi, namun politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini mengingatkan Indonesia harus menentukan sikap yang pasti terkait sikap kemampuan pertahanannya berkaitan dengan pengadaan alutsista.

“Di satu sisi, memang kita kebutuhan kepada AS ada. Akan tetapi, supaya daya tawar kita kepada AS kuat, Indonesia tidak terlalu dekat,” kata Syahrul yang mengaku politik bebas aktif membuat Indonesia tidak bisa menentukan sikap secara terang-terangan dalam keberpihakan pada satu blok kekuatan dunia.

Syahrul memberi contoh seperti Arab Saudi yang memiliki kedekatan hubungan sangat kuat dengan AS tetapi Aeab Saudi juga tetap menjaga hubungan dengan China.

“Sehingga daya tawarnya akan naik. Kalau kita punya hanya satu senjata, daya tawarnya lemah,”ungkap Syahrul.

Namun, Syahrul menekankan jauh lebih penting adalah mitigasi yang dilakukan Indonesia adalah kemandirian yang kuat dalam membangun industri pertahanan dalam negeri sendiri.

Sebab, sebuah negara akan disegani bila dibutuhkan oleh banyak negara. Seperti China yang mampu memproduksi banyak hal dam memiliki teknologi yang kuat, serta mampu memiliki dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh negara lain.

“Yaitu produksinya. Apa yang tidak diproduksi oleh China? Ada kemandirian yang kuat,”uajarnya.

Di forum yang sama Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan, Presiden Prabowo Subianto sebenarnya bisa menjadi mediator pertikaian Pakistan-India.

“Karena punya hubungan yang begitu dekat dengan Perdana Menteri India. Bahkan beliau ketika melakukan kunjungan balasan, juga disambut dengan baik,” tambahnya.

Hal itu berarti Prabowo kayak tidak punya batasan atau rintangan untuk berhubungan dengan para pemimpin dunia, sehingga, Prabowo punya potensi untuk menjadi juru damai.

“Saya juga mengusulkan bahwa perlunya Presiden Prabowo untuk menjadi juru damai. Tapi kalau misalnya tidak, beliau bisa mengutus Menlu atau utusan khusus ya seperti Pak Jusuf Kalla untuk melakukan perdamaian,” tambahnya.

                                                                                                  Letupan 

Hikmahanto menambahkan, dunia kadang-kadang ada letupan yang tiba-tiba. Dimana pemimpin-pemimpin model Donald Trump justru bisa memunculkan perang.

“Adanya perang India dan Pakistan adalah betapa pentingnya pasar uang, pasar modal. Karena pada waktu perang kemarin, bursa bisa turun,” jelasnya.

Selain itu, penting juga kesiapan dari suatu negara terkait dengan kemungkinan terjadinya perang. Dimana yang penting adalah bagaimana mempersiapkan diri.

“Misalnya skenario terburuk yang akan terjadi. Dimana teknologi punya peran yang sangat penting di dalam memenangkan perang,” tuturnya.

“Indonesia juga harus bisa menjawab tantangan itu dengan membesarkan industri pertahanan,” tegas Hikmahanto.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE