JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari membenarkan revisi Rancangan Undang Undang, (RUU), Penyiaran belum juga rampung, padahal pembahasannya dilakukan dalam tiga periode masa jabatan DPR RI.
UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 harus direvisi seiring semakin pesatnya perkembangan teknologi penyiaran.
“Komisi I sedang membahas, revisi yang sudah kita proses sejak priode yang lalu sampai priode sebelumnya, namun belum juga selesai. Kita berencana diperiode ini. Mudah- mudahan bisa selesai,”ujar Abdul Kharis Almasyhari secara virtual dalam diskusi Forum Legislasi ‘RUU Penyiaran untuk Kedaulatan Bangsa dan Negara’ di Media Center MPR- DPR-DPD RI, di Jakarta, Selasa (7/3).
Menurut dia, proses yang dilakukan Komisi I sudah sampai persiapan akhir Draf RUU penyiaran.
Tahapan berikutnya Komisi I akan sampaikan ke Badan Legislasi dan kemudian dibawa ke Paripurna dan setelah itu dikirim ke pemerintah untuk dibahas bersama.
“Mudah mudahan dalam masa sidang besok ini Draf RUU penyiaran sudah akan selesai,”kata Abdul Kharis Almasyhari.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, (KPI), Irsal Ambia dalam diskusi menjelaskan banyak isu harus di revisi dalam UU Penyiaran.
Menurut dia, salah satu hal yang mengemuka pada isu tentang revisi UU Penyiaran adalah kompetisi yang fair karena perkembangan teknologi secara masif tidak hanya mengubah landscape penyiarannya, tetapi juga mengubah kebiasaan masyarakat menonton, mengkonsumsi televisi dan lain sebagainya.
Sekarang masyarakat sudah pakai gadget dan tontonannya semakin beragam. Artinya sudah semakin banyak orang sekarang tidak butuh TV lagi di rumah. Karena nonton TV pakai internet, HP dan segala macam lalu semakin banyak pilihan, sehingga tidak harus yang terestrial televisi televisi yang ada sekarang.
Selain itu banyak layanan seperti televisi yang itu disediakan oleh aplikasi-aplikasi, baik yang berlangganan ataupun free.
“Inilah yang kemudian menjadi salah satu isu penting ketika ada pengaturan yang tidak sejajar dalam artian televisi atau media konvensional. Televisi ini diatur sedemikian rupa di dalam undang-undang penyiaran, diawasi oleh KPI kemudian setiap pelanggaran diberikan sanksi, jadi sangat ketat begitu, pada aspek penyiaran konvensional, televisi, radio dan lain sebagainya, apalagi KPI juga punya KPID di seluruh Indonesia, jadi diawasi betul, sehingga penyiaran konvensional tidak bisa macam-macam seperti konten pornografi, kekerasan.
Darah saja tidak boleh kelihatan dan lain sebagainya. Tetapi di sisi lain pada penyelenggaraan berbasis internet, semua boleh, mulai dari iklan judi, pornografi yang semi-semi pornografi pun ada, terus kemudian macam-macam, kekerasan dan lain sebagainya Itu tayang dengan sangat mudah di platform internet,”ungkap Irsal.
Inilah, tambahnya lagi yang kemudian menjadi salah satu isu harus ada pengaturan yang seimbang yang sama dan fair, sehingga industri penyiaran ini juga akan berjalan secara baik.
Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI), Trubus Rahadiansyah menilai, revisi UU Penyiaran itu sudah 20 tahun seperti tidak ada kepastian, tapi juga tidak ada kejelasan seperti apa, sehingga publik bingung.
Dari sisi kebijakan publik sebenarnya ada kecurigaan-kecurigaan, kenapa revisi UU Penyiaran seperti terombang-ambing, tidak ada kejelasan, yang berakibat buruk terhadap daerah, ketika mau menyusun Perda (peraturan daerah).
“Di Jawa Tengah ada Perda Nomor 13 tahun 2016 tentang penyiaran, itu sampai hari kebingungan, karena Perda ini kan cantolannya ke Undang-Undang,”ujar Trubus.(j04)