Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Soal Tapera, Langkah Terbaik Pemerintah Mengkaji Ulang

Soal Tapera, Langkah Terbaik Pemerintah Mengkaji Ulang
Diskusi Forum Legislasi dengan tema "Menelisik Untung Rugi Tapera" di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis, (30/5/2024). (Waspada/Andy Yanto Aritonang)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), masih menjadi sorotan kritik dari DPR dan pengamat.

PP No. 21 Tahun 2024 mengatur setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah menikah yang memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum diwajibkan menjadi peserta Tapera.

Sedqngkan proses pengelolaan Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh peserta, dan simpanan itu hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan peserta.

“Memang ada kewajiban kepada siapapun baik korporasi, maupun yang mandiri untuk turut serta di dalam Tapera dengan syarat-syarat tertentu yang salah satunya adalah pengusaha/pemberi kerja 0,5 persen. Sementara, 2,5 persen menjadi kewajiban pekerja,” ungkap Anggota DPR RI Herman Khaeron dalam diskusi di DPR RI , Jakarta, Kamis (30/5/2024).

Tapera lahir melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016. Tetapi menurut Khaeron tidak gadih dan tidak ribut.

Kenapa baru kemudian kita ributkan setelah lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024? ujarnya.

Pertanyaannya apabila seorang pegawai itu sudah punya rumah, apakah juga masih dipotong gajinya?. Kalau sudah punya rumah, tapi acuan masih punya kewajiban, karena wajib berlaku untuk semuanya.

“Nah ini, harus semestinya di pertimbangkan, di dalam penyusunan peraturan pemerintahan tersebut. Yang kedua ini kan dibuat tenor 30 tahun, itu adalah jangka waktu pengambilan kredit 30 tahun. Kalau jangka waktu 30 tahun, kemudian seorang karyawan berpindah-pindah, bagaimana? Atau tiba-tiba dia dalam lima tahun mampu bayar karena berada dalam perusahaan yang sama tapi dua tahun kemudian berhenti nganggur dan lain sebagainya, terus menjadi kewajiban mandiri bagaimana?, tanya politisi Partai Demokrat ini.

Yang ketiga, sambungnya, sekarang kan sudah banyak potongan, ada potongan BPJS , potongan jaminan hari tua, ada potongan apalagi tuh, kemudian ditambah lagi untuk potongan Tapera. Ini kan diperuntukkan bagi pegawai perusahaan yang berpenghasilan rendah.

Sudah penghasilannya rendah banyak potongan, nah ini juga yang harus dipertimbangkan.

“Saya tidak mengatakan, bahwa saya tidak setuju dengan peraturan pemerintah, tetapi semestinya ini yang harus dipertimbangkan. Dan syarat di dalam membuat aturan sebetulnya sudah jelas bahwa harus melalui sosialisasi, yang bermakna karena apa usernya adalah seluruh masyarakat, usernya kita semua.

Oleh karena itu yang saya harapkan pemerintah bisa merespon, karena ini peraturan pemerintah,” tutur Herman Khaeron.

Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR itu mengatakan, kalau kritiknya terhadap undang-undang tentu DPR punya kewajiban untuk mengkaji, mengevaluasi dan bisa saja berinisiatif untuk melakukan revisi. Tapi karena ini adalah peraturan pemerintah, maka pemerintah harus mengkaji ulang dengan melihat reaksi publik saat ini dan kemudian memikirkan langkah-langkah teknis apa yang tepat dengan kemampuan daya beli dan keberadaan masyarakat.

Langkah terbaik adalah pemerintah meninjau ulang dan kemudian me-review mana yang diterapkan mana yang harus memberikan rasa keadilan,” ujar Herman Khaeron.

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansah menegaskan, soal rumah menjadi tanggung jawab negara.

“Pengertiannya begitu. Kalau kita lihat di PP No. 21 Tahun 2024 jelas negara enggak mau bertanggung jawab. Kenapa? Karena tiga persen jelas memberatkan masyarakat. Artinya di PP 21 pertama mengatur mengenai ASN,TNI , Polri.

Oke yang itu tidak masalah, karena itu memang bagian dari akar-akar negara, katanya .

Yang kedua ini, sambungnya, kaitan dengan pekerja – pekerja swasta dalam bahasa karyawan swasta. Kalau swasta itu 3% dia harus menanggung begitu besar, kalau perusahaan aja 0,5 selebihnya adalah perusahaan yang apa karyawan yang harus menanggung.

Contoh misalnya UMP DKI Jakarta itu 5 juta. 5 juta kalau tiga persennya itu berarti 150.000, 150.000 maka karyawan harus membayar Rp125.000 sementara yang namanya perusahaan itu harus menanggung 25.000. Kita bertanya negara tanggung jawabnya ada di mana? Kalau itu cuman hanya diserahkan semuanya kepada masyarakat.

Belum lagi masyarakat pekerja dihadapkan oleh kewajiban yang lain yaitu dengan BPJS kesehatan, ketenagakerjaan dan yang lain-lainnya , total-total itu kira-kira 6,5% yang harus dikeluarkan karena mengikuti undang-undang.

Dari sisi yang namanya pelaku usaha tentu berat sekali 0,5, sementara ini peluang usaha sudah berkali-kali kita diskusi dengan Apindo mengatakan bahwa sudah banyak kewajiban seperti BPJS ketenagakerjaan BPJS kesehatan, pajak dan lain-lain totalnya mencapai 20%, ditambah lagi, kan berat lagi. Ujung-ujungnya nanti, dia (pemilik perusahaan) akan melakukan rasionalisasi atau mau PHK karyawannya kalau mau harus nanggung karena kalau nanggungnya cuman 120.000 enggak apa-apa tapi kalau itu karyawan yang sampai ratusan atau ribuan bagaimana?,” tukas Trubus Rahadiansah.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE