JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua MPR-RI Arsul Sani mengingatkan masalah penundaan Pemilu 2024, tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945, meskipun MPR RI memenuhi syarat Pasal 37 UUD tersebut. Namun tanpa diikuti dengan bertanya kepada rakyat apakah mereka setuju hak konstitusional-nya untuk memilih pemegang mandat 5 tahunan baik di rumpun eksekutif maupun legislatif ditunda.
“Jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk merubah UUD NRI 1945 , maka meski syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi, menurut saya ini kesan ‘abuse of power’ oleh MPR tidak akan bisa dihindari,”ujar Arsul Sani menanggapi wacana penundaan Pemilu yang digelindingkan oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan juga disuarakan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto serta diamini Ketum PAN Zulkifli Hasan, di Jakarta, Minggu, (28/2).
Sebagai Pimpinan MPR RI, Arsul menegaskan, pimpinan MPR dan Fraksi-fraksi di MPR secara formal belum pernah membicarakan soal wacana penundaan Pemilu 2024.
“Saya sendiri sebagai salah satu Waka MPR RI dari PPP berpendapat meskipun penundaan Pemilu memang bisa dilakukan dengan amandemen UUD oleh MPR, namun menurut saya secara moral konstitusi tidak pas untuk melakukan amandemen UUD jika MPR tidak bertanya dulu kepada rakyat secara keseluruhan apakah rakyat setuju pemilu ditunda,”ungkap Arsul.
UUD NRI 1945 itu jelas menetapkan pemegang kedaulatan di Indonesia ini adalah rakyat. “Menunda pemilu itu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para pengemban mandat yg akan melaksanakan kedaulatan tersebut untuk masa 5 tahun yang akan datang. Secara moral sebagai anggota MPR-RI saya melihat tidak elok sebagai pemegang mandat kedaulatan, MPR justru mereduksi hak pemilik kedaulatan, yakni rakyat,”ujarnya.
Dia menambahkan, tanpa bertanya kepada rakyat yang memiliki kedaulatan, maka tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945.(j04)