Scroll Untuk Membaca

Olahraga

Membaca Ulang Pikiran Mihar Harahap Tentang Puisi dan Politik

Membaca Ulang Pikiran Mihar Harahap Tentang Puisi dan Politik
Kecil Besar
14px

Oleh: Perisai AM

Hampir dua tahun Mihar Harahap, kritikus sastra satu-satunya yang pernah dimiliki Sumatera Utara pergi meninggalkan kita.

Mihar Harahap wafat pada 11 Nopember 2020 setelah menderita sakit yang tak diketahui apa penyebabnya karena ia menolak untuk dibawa berobat ke rumahsakit. Jenazahnya kemudian dikebumikan di pekuburan muslim di kawasan  Denai, Medan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Membaca Ulang Pikiran Mihar Harahap Tentang Puisi dan Politik

IKLAN

Terlepas dari kepergiannya yang terbilang mendadak, Mihar masih menyisakan sejumlah tulisan, baik esai maupun kritik terhadap karya sejumlah sastrawan Sumatera Utara. Salah satu peninggalannya  adalah ulasan panjang yang diberinya judul “Politik Indonesia dalam Puisi” yang kemudian dijadikan kata pembuka untuk buku kumpulan puisi dengan judul yang sama, yang diterbitkan Forum Sastrawan Deliserdang (Fosad).

Bagaimana pemikiran Mihar tentang sastra dan politik itu? Dalam rangka mengenang dua tahun kepergiannya, berikut kami kutipkan pemikiran Mihar Harahap mengenai hal tersebut.

Menurut Mihar, secara teori bangunan karya sastra terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Politik sastra, berarti politik dalam sastra. Dapat meliputi teori sastra, sejarah sastra, hasil sastra, masyarakat sastra, penerbit dan pemasaran sastra, pustaka dan dokumentasi sastra. Teori sastra, misalnya, perlu menciptakan teori sastra Indonesia. Sebab, hingga kini, perguruan tinggi masih menggunakan teori sastra Barat untuk meneliti karya sastra Indonesia. Secara politis, hal ini sebenarnya tak dapat dibiarkan karena bertentangan dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang pasti berbeda dengan nilai-nilai budaya Barat tersebut.

Bahwa peristiwa politik yang terjadi, misal kejatuhan orde baru, masa reformasi dan pascareformasi, merupakan momen sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Oleh sastrawan, momen itu, dilukiskan, diekspresikan, dinyatakan ke dalam bentuk karya sastra. Lalu, momen sejarah bangsa itu dijadikan sebagai monumen sejarah sastra Indonesia. Maka karya sastra itu didokumen, digolongkan, dicirikan ke dalam suatu periode, generasi atau angkatan sastra Indonesia.

Hingga kini, angkatan dalam sejarah sastra masih menjadi persoalan. Ajip Rosidi mengakui masalah angkatan atau generasi unik dan musykil serta tak kunjung selesai dalam dunia sastra Indonesia. Masalah ini menjadi ricuh dan kacau karena tidak ada pengertian yang jelas mengenai makna istilah angkatan itu sendiri. Karena itu perlu kesepakatan, tidak saja soal makna istilah, tetapi juga soal lainnya. Kesepakatan dan ketegasan orang-orang yang berkompeten, sastrawan, akademisi, pemerintah, masyarakat dan pihak swasta lainnya.

Di Medan, pernah banjir roman dan laris manis, meski terbitan swasta. Namun distigma roman picisan, sastra liar, sebab dianggap murah harganya dan rendah mutunya. Ternyata, roman seperti karya Hamka, Matumona, Joesoef Sou’yb, Tamar Djaja, A.Damhuri, dll, tak kalah dengan terbitan Balai Pustaka Jakarta. Maka stigma dan diskriminasi roman Medan sebagai roman picisan hanyalah politisasi, daerahisme dan koncoisme. Atau lantaran sastrawan Medan tidak mau tunduk kepada kebijakan politik koloni. Semoga hal ini tidak terulang lagi.

Persolan berikutnya, Angkatan 2000. Catatan Korrie Layun Rampan mengenai hal ini dinilai belum sistematis. Dicirikannya bertema sosial, politik, romantik, banyak wanita dan tak ada aturan yang mendasar. Lalu, marak sastra koran, sastra berteman, gender, perkelaminan, seks, feminimisme, karya pop, gampang dicerna, sastra religi dan sastra cyber. Ditulis Korrie kalau cacatan ini masih merupakan wacana, walau sudah dibukukan. Karena itu, catatan atau wacana ini adalah masukan untuk penyusunan angkatan sastra terdahulu dan terkini.

Memang, kata Yudiono KS, pada masa akan datang harus dikembangkan pengkajian sastra Indonesia lokal, misalnya dinamika sastra Indonesia di Aceh, Sumut, Sumbar, Lampung, Kalbar, Kalsel, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Bali, Sulawesi, Maluku, dst. Barangkali perlu diluruskan sebutan masa akan datang itu. Kapan atau kapan-kapan? Selayaknya masa kini, sejak Angkatan 2000 (2000-2020). Lalu, istilah Indonesia lokal menjadi tanpa lokal. Sebab, sastra Indonesia itu ada di kabupaten-kota seluruh Indonsia.

Persoalan di atas menunjukkan bahwa angkatan dalam sastra Indonesia dapat disusun kembali. Bahkan sejak Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang ketika itu dikebiri koloni. Karya-karya sastra di daerah yang tidak mendapat tempat, malah dianggap bermutu rendah. Mungkin jauh berbeda dengan Angkatan 45 dan Angkatan 66 di mana dilatari perjuangan kemerdekaan dan pembubaran PKI. Angkatan 80 dilatari Pemilu 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan reformasi 1998. Sedang Angkatan 2000 dilatari Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019.

Catatan penting adalah peristiwa politik 20 tahun lalu di mana meletusnya aksi reformasi tahun 1998. Bukan lantaran terpilihnya kembali presiden Soeharto atau kabinet menteri yang meletakkan jabatan. Melainkan karena krisis ekonomi dan politik, KKN, nilai tukar rupiah anjlok, hingga bank dan perusahaan bangkrut. Harga BBM, tarif listrik dan jasa angkutan naik, sangat membebani rakyat. Pers, parpol, kampus, dibelenggu bahkan aktivis dan seniman yang kritis pun ditangkap. Peristiwa ini lebih hebat dari berulangkali pemilu.

Mahasiswa dari kabupaten-kota menggelar unjukrasa. Mula-mula di kampus, lama-lama turun ke jalan, ke kantor pemerintahan dan dewan. Menyebar diikuti pemuda, masyarakat dan kelompok misterius. Terjadi pengurusakan fasilitas umum, penjarahan ruko, rumah, tanah kebon bahkan penembakan mahasiswa. Puncaknya, mahasiswa menduduki gedung DPR dan mendesak presiden mundur. Akhirnya, pada 21 Mei 1998, tanpa sidang istimewa MPR, presiden Soeharto pun menyatakan dengan tegas, mengundurkan diri.

Peristiwa politik berikut ialah Pemilu. Mestinya kampanye memberikan pendidikan politik dan bukan saling menghujat. Sebab, pemilu kali ini memilih serentak Presiden-Wapres, DPR Pusat-Daerah dan DPD seluruh Indonesia. Namun yang muncul isu DPT siluman, KTP kececeran, orang gila memilih atau kotak suara kardus.Yang mengenaskan muncul idiom-idiom saling mengejek. Idiom cebong, kampret, sontoloyo, genderuwo, tagar ganti presiden dan tetap presiden.

Peristiwa-peristiwa politik ini dipandang sebagai momen sejarah bangsa. Maka puisi merupakan monumen sejarah sastranya. Mengangkat harkat dan martabat kepenyairan, sastrawan dan karyanya. Tidak lagi sesudah berkarya, lalu lenyap dan dilupakan. Dia harus terdokumentasi, terpelihara dan dapat dipelajari, karena ada dalam setiap babakan, periode, generasi atau angkatan sastra Indonesia. Baik di pusat maupun di daerah. Itulah politik sastra yang harus diciptakan secara baik dan benar.

Sastra Politik, Etika dan Estetika

Sastra politik, berarti sastra dalam politik. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa politik (dll) masuk secara intrinsik, ekstrinsik, dalam karya sastra. Baik etika, meliputi tema, subtema, lingkungan, pandangan penyair, maupun estetika, mencakup bentuk-bentuk pengucapan. Maka sastra politik adalah karya sastra yang tidak hanya mengolah, meramu keharmonisan, keindahan (estetika), tetapi juga mengisi, merespon, nilai-nilai politik yang baik dan benar (etika) ke dalam karya sastra seperti puisi. Karena itulah pembaca menikmatinya.

Pada bagian ini, dapat dilihat apa dan bagaimana penyair merespon nilai-nilai politik itu ke dalam puisinya. Paling tidak ada lima atau lebih kecenderungan yang disebut tuan politik, etalase politik, emak-emak politik dan olok-olok politik

Tuan Politik. Kata “tuan” sapaan kata ganti orang. Dahulu, dipakai untuk meninggikan derjat, martabat seseorang karena berbagai kelebihan. Dia disegani, dihormati, dihargai, sedemikian rupa. Namun dalam puisi kata ini berlaku agak miring, justru untuk merendahkan derajat, martabat seseorang karena ucapan, sikap, caranya berpolitik tidak menunjukkan kesantunan, keintelektualan, cerdas, apalagi keteladanan.

Perhatikan puisi “Kepadamu Tuan” karya Asro Kamal Rokan. “Tuan menciptakan banyak mulut/bercabang dan berlidah api/menjalar tak padam-padam/membakar hati dan kemanusiaan,” (bait 1).

Bayangkan, tuan (tim) menebar hoaks, fitnah, adu-domba untuk menzolimi, memuruk,membunuh karakter lawan politik. Padahal tuan tak sadar, kalau orang-orang tahu siapa tuan.Jadi, bukan beradu konsep, argumentasi, aplikasi, melainkan mengungkapkan perihal pribadiburuk lawan politik di media yang belum tentu kebenarannya.

Berbeda dengan tuan-nya Choking Susilo Sakeh pada puisi “Sudahlah”. Katanya: “bahwa negeri ini terpilah karena birahi kekuasaanmu di atas segalanya/akui ketidakmampuanmu sebab syahwatmu pun tak terkendali/padahal kami telah lelah terceraiberaikan tanpa ketidakpastian/meski engkau menikmati hiruk-pikuk ini,” (bait 3). Bahwa mendikotomikan anak negeri secaraantonim, selain menunjukkan arogansi kekuasaan, juga sekaligus ketidakmampuan pemimpin.

Di atas tuan-tuan itu, Sugeng Satya Dharma, memberi somasi kepada tuannya dalam puisi “Peringatan”. Katanya: “Tuan, ini peringatan bertabur zamrud/beraroma wangi kembang kesturi/maka labuhkan perahumu, tuan/di samudera dua batas/jemput kami di tepi matahari,”(bait 3).

Kalau tuan benar-benar berkuasa, enyahkan kemunafikan (dalam diri dan sekitarmu). Lantas,labuhkan kekuasaanmu pada keadilan, kejujuran, kecerdasan buat menjemput anak-anak bangsapada kehidupan ke depan yang lebih baik, lahir dan batin.

Etalase Politik. Deskripsi Hidayat Banjar dapat disimak pada puisi “Lelaki Berambut Sebahu”. Katanya: “kini, meski dalam ketidakpastian/lelaki berambut sebahu/dadanya tak lagi sesak/mata bulatnya kembali bersinar/menyaksikan puing-puing satu rezim/tenggelam dalam rawa-rawa sejarah,” (bait9).

Sayed Din Hidayat dalam puisi “Sajak Pekerja” menagih janji penuh harapan itu. Tetapiapa lacur, katanya: ”jangan kami dijadikan roda mesin gilas/untuk kepentingan sesuap nasi/gajian banyak cincangan/anak istri tinggal isap jempol/uang tak cukup beli sepotong roti kering,” (bait4).

Buruh kasar ini mengeluh, seakan dipaksa kerja keras, sementara gaji minimal dan terkadangbanyak potongan. Sampai di rumah anak-istri tinggal gigit jari. Buruh merasa dipecundangi olehpenguasa, perusahaan, yang tidak menaikkan UMR pekerja.

Emak-Emak Politik.Melalui pasangan capres Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019, peran emak-emak berpolitik semakin kesohor.Mengapa? Pertama, emak-emak jadi perhatian capres ini untuk mendulang suara. Kedua, jumlahsuara emak-emak sebagai pemilih sangat signifikan. Menurut KPU jumlah suara perempuanlebih besar 285.568 ribu dari jumlah suara laki-laki. Jumlah suara perempuan 96.557.044, sedangjumlah suara laki-laki 96.271.476. Ketiga, peran emak-emak dalam keluarga sangat strategismemengaruhi laki-laki untuk menentukan pilihannya.

Umar Zein dalam puisi “Emak-Emak” menulis: ”Emak-emak/kini memikat anak pulau pemburu tahta/dulu tak/kini mereka bagai mutiara di tepi pantai jingga,” (bait 1). Betapa tidak,puisi Saripuddin Lubis bercerita: ”Lalu suatu subuh ia diberi bingkisan/sebuah sarung dan beras sekilo/katanya dari seorang calon kuat/sambil meminta memilih calon orang kuat itu/dan janji membantu si mbok jamu/si mbok menerima bingkisan itu/di kamarnya sudah ada sepuluh bingkisan serupa/serta janji yang juga serupa/sudah tiga kali pemilu juga serupa,” (Kisah MbokJamu dan Sepeda Dayungnya, bait 4).

Olok-Olok Politik.Fikar W.Eda mengasosiasikan pemilihan umum dengan pemilihan kuda. Artinya, seorangkandidat pemimpin harus bekerja, sebagaimana layaknya seekor kuda. Jadi, larinya, sikutnya,tendangnya, ngamuknya, harus seperti kuda. Malah: ”ringkiknya kuda/dengusnya kuda/kepalnya kuda/nafsunya kuda/tenaganya kuda,” (Pilkuda 3 bait 7) perlu dipelajari dengan baik. Hal iniharus dilakukan, bukan saja demi meraih kemenangan, tetapi juga untuk menjadi kuda, bilamanameraih kemenangan. Apakah mengkuda orang atau diperkuda orang.

Olok-olok Fadmin Prihatin Malau menggembirakan. Katanya: ”tenanglah, semua akan indah/tenanglah semua akan gampang/beragam kartu akan kau pegang/kartu, dan kau akan sehat/kartu, dan kau akan cerdas/kartu, dan kau akan pintar/kartu, dan kau akan sejahtera,” (Dan KauAkan-Akan, bait 3). Tenanglah, semua menjadi mudah. Kartu sakti yang digulirkan tentu akanmemberhasilkan keadaan. Akan sehat, akan cerdas, akan pintar, akan sejahtera. Maka sambutlahkartu akan-akan dengan penuh kegembiraan. Dapatkan segera!

Nasib TS menulis: ”mulutmu kulem dengan uhu/di dalam ada sejumlah cara/yang harus kita rahasiakan/mengancam jujurku,” (Sajak Amplop). Nasib TS mengolok pemilih yang menerima uang suap dalam serangan fajar, ketika hendak memilih. Sedang Mansyur Nasution menulis: ”kerja, kerja, kerja/tak ada kerja/utangku menumpuk/utang negeriku menggunung/utang janji pejabat/di gedung terhormat/kapan dibayar,” (Capeklah,bait 7).

Bukan tidak mau kerja tetapi kerja itu tidak ada. Kalaupun ada, telah disambar buruh kasar asing. Akibatnya, menganggur, utang di kedai menumpuk, belum berbayar. Pemerintah juga berhutang ke luar negeri. Hutang janji para pejabat, ketika kampanye pemilu lalu, belum juga berbayar dan kini berjanji lagi. Kalau begini-begini terus, capeklah rakyat.

Sedangkan Wirja Taufan bersikap dalam puisi: ”Tak Suka Politik” yang sebenarnya sudah berpolitik. Katanya: ”Aku tak suka politik/tak pernah belajar untuk menyukainya/(karena) aku tak suka belaian kosong mereka/janji-janji cuma sihir yang memabukkan.” Sihir memabukkan kata Wirja, sehingga dianggap pembual oleh masyarakat.

Pada akhirnya penguasa, pengusaha, politikus, memanglah perlu menyikapi kepemimpinan Muhammad SAW sebagaimana ditulis Sulaiman Sambas dalam puisi “Strategi Kasih Sayang II”. Katanya: ”hazar aswad/mesti diletakkan di singgasana/tak hendak jadi biang sengketa/ meruntuh martabat/para pengetua adat,” (bait 1).  

Maka, tidak hanya kejujuran nabi yang menjadi pertaruhan di antara para pemimpin, tetapi juga rasa keadilan dan kemanusiaannya. Begitulah hendaknya mereka.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE