Oleh Dr. Muryali
Tahun 2027 tinggal menghitung waktu. Di tahun itulah Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh dijadwalkan berakhir, menutup satu babak sejarah yang penuh janji dan harapan pasca damai Helsinki 2005.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Sejak pertama kali digelontorkan pada tahun 2008 hingga 2025, total dana Otsus yang telah diterima Aceh mencapai angka fantastis: lebih dari Rp110 triliun. Jumlah yang semestinya menjadi bahan bakar pembangunan, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat fondasi pelayanan publik di berbagai sektor. Namun realitas berkata lain ketimpangan masih lebar, kemiskinan tetap tinggi, dan kualitas sumber daya manusia belum menunjukkan lompatan berarti. Apa yang sebenarnya telah kita capai dengan dana sebesar itu?
Dana Otsus adalah pengejawantahan dari semangat rekonsiliasi dan pembangunan. Ia bukan sekadar transfer fiskal, melainkan janji politik sekaligus moral untuk menyembuhkan luka sejarah panjang Aceh. Namun, selama hampir dua dekade, dampaknya belum terasa secara signifikan dalam kehidupan rakyat banyak. Ketimpangan masih lebar, pelayanan dasar sering tertinggal, dan banyak wilayah pedalaman belum menikmati infrastruktur yang layak seolah janji itu menguap perlahan dalam praktik yang tak menyentuh akar persoalan.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan berbagai kajian akademik menunjukkan kecenderungan yang berulang: penggunaan dana yang tidak efisien, tumpang tindih program, hingga lemahnya pengawasan. Tak jarang, dana yang semestinya diarahkan untuk sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi justru tersedot untuk proyek infrastruktur yang tidak berkelanjutan atau terhenti di tengah jalan.
Aceh memang membangun jalan, jembatan, dan gedung pemerintahan. Tapi apakah masyarakatnya berdaya? Apakah angka kemiskinan turun drastis? Apakah pendidikan membaik, dan layanan kesehatan menjangkau pelosok? Realitas berkata lain. Hingga 2024, Aceh masih menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera, dan pengangguran tetap menjadi masalah laten. Bahkan secara nasional, Aceh kerap masuk dalam jajaran provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia sebuah “prestasi” ironis di tengah limpahan dana Otsus yang semestinya mendorong kesejahteraan.
Tak berhenti di situ, mutu pendidikan di Aceh pun masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain, baik dari segi capaian hasil belajar, angka partisipasi sekolah, maupun kualitas infrastruktur dan tenaga pengajar. Ketika kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya mutu pendidikan berjalan beriringan, kita dipaksa bertanya ulang: ke mana sesungguhnya arah pembangunan yang dituju?
Mengapa Sunyi?
Kata “sunyi” dalam judul ini bukanlah hiperbola. Ia mewakili ketiadaan suara pembangunan yang benar-benar menyentuh akar. Ketika dana mengalir deras, namun masyarakat tetap mencari-cari maknanya, itulah sunyi yang menyakitkan. Sunyi itu terasa di sekolah-sekolah yang kekurangan guru, di puskesmas-puskesmas yang kehabisan obat, di ladang-ladang yang tak lagi subur karena petani tak mendapatkan pelatihan atau alat yang memadai. Ia hadir di wajah-wajah muda yang kehilangan harapan kerja, di kampung-kampung yang tertinggal jaringan listrik dan internet, serta di rumah-rumah sederhana yang tetap gelap meski negara telah mengucurkan triliunan rupiah demi terang yang dijanjikan.
Sunyi ini bukan karena masyarakat tidak tahu berterima kasih, tetapi karena mereka menunggu hasil yang dijanjikan oleh narasi besar Otsus. Mereka ingin melihat bahwa damai bukan hanya tentang tiadanya konflik bersenjata, melainkan hadirnya kesejahteraan yang nyata.
Apa yang Salah?
Pertama, tidak adanya desain pembangunan jangka panjang berbasis potensi daerah. Sebagian besar penggunaan dana Otsus lebih bersifat tahunan dan sektoral, tanpa grand design yang kuat. Padahal Aceh memiliki potensi besar di sektor pertanian, perikanan, pariwisata, dan energi.
Kedua, politik anggaran yang tidak berpihak pada rakyat. Dana Otsus sering kali menjadi objek tarik menarik kepentingan antara eksekutif, legislatif, dan aktor lokal. Alih-alih menjadi alat pemberdayaan, ia terjebak dalam siklus pengulangan proyek yang tidak produktif.
Ketiga, minimnya partisipasi publik dan transparansi. Masyarakat jarang dilibatkan dalam proses perencanaan. Tak banyak yang tahu bagaimana alokasi ditentukan, siapa yang mendapat manfaat, dan bagaimana hasilnya dievaluasi.
Menuju 2027: Masih Ada Waktu?
Meski waktu tersisa hanya dua tahun menuju 2027, belum terlambat untuk memperbaiki arah. Momentum ini seharusnya digunakan untuk melakukan audit menyeluruh bukan hanya audit finansial, tetapi juga audit sosial dan audit kebijakan. Kita perlu mengukur sejauh mana kebijakan yang dirancang benar-benar berpihak kepada masyarakat, bukan sekadar memenuhi prosedur administratif.
Evaluasi harus menyentuh dampak riil di lapangan: apakah dana Otsus telah memperkecil jurang kemiskinan, memperluas akses pendidikan, dan memperkuat layanan kesehatan? Tanpa refleksi menyeluruh, kita berisiko mengulangi siklus kegagalan yang sama, meski dengan nama dan program yang berbeda.
Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota harus merumuskan rencana transisi pasca-Otsus yang konkret dan realistis. Ini termasuk penguatan pendapatan asli daerah (PAD), diversifikasi ekonomi, serta penciptaan lapangan kerja berbasis potensi lokal. Lebih dari itu, pendidikan dan pelatihan vokasional harus menjadi prioritas agar generasi muda Aceh tidak menjadi penonton di tanah sendiri.
Bayangkan jika 110 triliun itu digunakan dengan baik Aceh bisa menjadi pusat percontohan pertanian organik berbasis syariah, kampus-kampusnya menjadi tujuan belajar dari Asia Tenggara, rumah sakitnya menjadi rujukan regional, dan masyarakatnya mandiri secara ekonomi. Ini bukan mimpi, ini seharusnya visi yang telah lama dicanangkan. Namun, pembangunan bukan hanya soal uang. Ia soal kemauan politik, integritas, perencanaan, dan keberpihakan pada rakyat. Jika semua itu tidak hadir, maka sebanyak apa pun dana yang dikucurkan akan lenyap tanpa jejak, seperti air di pasir kering.
Suara dari Tanah Rencong
Dana Otsus adalah kesempatan emas yang tak datang dua kali. Kini kita berada di ujung perjalanan dana tersebut, namun belum di ujung harapan. Suara-suara dari tanah rencong meminta satu hal: akhiri sunyi ini dengan karya nyata. Gunakan dua tahun terakhir ini untuk menebus yang belum ditepati.
Jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa Aceh pernah diberi 110 triliun dan gagal menjadikannya jalan menuju kemajuan. Dan itu akan menjadi ironi yang menyakitkan bukan hanya bagi rakyat Aceh hari ini, tetapi juga bagi generasi yang akan datang.
Dana Otsus adalah jembatan damai. Tapi jembatan itu harus dipijak dengan keadilan dan dilintasi dengan komitmen, agar sampai ke tujuan: kesejahteraan rakyat bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk generasi Aceh di masa depan yang berhak atas kehidupan yang lebih bermartabat.
Dosen Asministrasi Publik dan Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh











