Scroll Untuk Membaca

Opini

Abolisi, Amnesty Hasto & Tom

Abolisi, Amnesty Hasto & Tom
Kecil Besar
14px

Oleh Hasrul Harahap

Negara hukum tidak boleh bergantung pada “siapa presidennya”, melainkan harus dibangun di atas sistem dan lembaga yang tangguh.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui permintaan abolisi untuk terdakwa kasus impor gula Thomas Trikasih Lembong. Juga amnesti untuk terdakwa kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR Hasto Kristiyanto yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto. Wakil Ketua DPR Prof. Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, seluruh fraksi di DPR telah menyepakati usulan tersebut dan tinggal menunggu penerbitan Keputusan Presiden (Keppres).

Dalam hasil rapat konsultasi tersebut, DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 atas pertimbangan persetujuan DPR tentang pemberian abolisi terhadap saudara Tom Lembong, Kata Prof Dasco dalam konferensi pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam. Kemudian, y6ang kedua adalah pemberian persetujuan atas dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor 42/pres/072025 tanggal 30 Juli 2025, tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti termasuk saudara Hasto Kristiyanto.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan alasan Presiden Prabowo mengusulkan pemberian abolisi terhadap Tom dan amnesti terhadap Hasto. Salah satu pertimbangan pada dua orang ini salah satunya kita ingin menjadi ada persatuan dan dalam rangka perayaan 17 Agustus. Seperti yang kita ketahui, bahwa Abolisi merupakan penghapusan proses hukum terhadap seseorang yang sedang menjalani proses hukum, mulai dari penyidikan, penyelidikan, atau penuntutan pidana. Abolisi adalah hak konstitusional presiden yang diatur dalam pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

Berbeda dengan amnesti maupun grasi. Bila grasi diberikan kepada mereka yang sudah divonis pengadilan, dan amnesti diberikan untuk pidana politik secara kolektif, abolisi dapat menghentikan proses hukum terhadap seseorang sebelum adanya putusan pengadilan. Dalam banyak kasus abolisi adalah ekspresi politik dari presiden untuk meredam kegaduhan nasional yang dianggap tidak produktif, atau demi rekonsiliasi nasional. Abolisi diberikan oleh presiden dan membuat proses hukum dihentikan kepada terdakwa kasus pidana, seolah-olah tidak pernah terjadi alias namanya dibersihkan.

Sementara, amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada sekelompok orang atas tindak pidana tertentu, terutama yang bersifat politik. Amnesti bisa diberikan sebelum atau sesudah ada putusan pengadilan, dan berlaku secara umum atau kolektif. Sifat politik yang dimaksud umumnya menyangkut kekuasaan, negara, atau pemerintah. Misalnya kasus makar, pemberontakan, atau gerakan separatisme yang didasari ideologi politik tertentu. Menteri Hukum Supratman mengakui bahwa dirinya yang mengusulkan abolisi terhadap Tom dan amnesti terhadap Hasto.

Selain Hasto, dia menyebutkan total ada 1.168 narapidana yang juga mendapat amensti. Sebelumnya, Tom divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula. Sedangkan Hasto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap PAW anggota DPR yang turut menyeret eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan. Pemberian amnesti juga diberikan kepada enam pelaku makar yang tanpa senjata di Papua. Selain itu, ada pula narapidana yang berusia lanjut hingga yang memiliki gangguan kejiwaan sehingga harus menjalani perawatan di luar.

Tantangan Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah salah satu pilar utama dalam menjaga keadilan sosial dan ketertiban nasional. Di tengah era demokrasi yang kian matang dan masyarakat yang semakin kritis, hukum dituntut bukan hanya sebagai perangkat normatif, tetapi sebagai instrumen kesejahteraan, perlindungan, dan keadilan sejati. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang mulai berjalan sejak 2024 membawa harapan besar publik atas pembaruan hukum yang lebih tegas, adil, dan bersih dari intervensi kekuasaan.

Sejak dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2024, Presiden Prabowo menempatkan penegakan hukum sebagai salah satu agenda prioritas. Dalam pidato kenegaraannya, Presiden Prabowo berulang kali menyatakan bahwa hukum harus ditegakkan kepada siapapun tanpa pandang bulu, dan Indonesia tidak boleh menjadi negara yang tunduk pada oligarki hukum. Langkah awal yang menonjol adalah penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menempatkan “penataan hukum dan reformasi sistem peradilan” sebagai salah satu fokus utama.

Presiden Prabowo juga menyoroti pentingnya profesionalisme aparat penegak hukum, penguatan Komisi Yudisial, serta pemulihan independensi lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, KPK, dan Kejaksaan Agung. Presiden Prabowo mewarisi sistem hukum yang sudah lama dikritik publik karena lemahnya integritas. Mafia hukum, kongkalikong antara pengacara dan jaksa, serta praktik “jual beli perkara” adalah persoalan laten yang belum terselesaikan tuntas. Lebih dari itu, politisasi hukum menjadi tantangan serius. Kasus-kasus yang melibatkan tokoh oposisi atau aktivis seringkali ditangani lebih cepat dan keras dibandingkan kasus yang menjerat tokoh yang dekat dengan kekuasaan.

Hal ini menimbulkan persepsi negatif bahwa hukum masih menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan. Publik menaruh harapan besar agar Presiden Prabowo berani memutus mata rantai intervensi kekuasaan terhadap lembaga peradilan. Namun, langkah ini membutuhkan komitmen politik yang tak tergoyahkan serta reformasi menyeluruh terhadap mentalitas aparat hukum.

Selain itu, transparansi dalam promosi dan mutasi aparat penegak hukum harus dikedepankan. Tidak boleh lagi ada “jabatan basah” yang diperjual belikan di lingkungan kejaksaan, kepolisian, maupun lembaga peradilan. Pendidikan hukum kepada masyarakat, terutama kelompok rentan dan miskin hukum, juga harus diperluas. Hukum tidak boleh hanya dimonopoli oleh segelintir elit atau kaum terpelajar. Negara wajib hadir dalam mengedukasi rakyat kecil agar sadar hak dan mampu membela diri di depan hukum.

Membangun Institusi Hukum

Penegakan hukum juga tidak bisa dipisahkan dari isu-isu HAM, konflik agraria, kebebasan berpendapat, serta perlindungan kelompok minoritas. Pada titik ini, Prabowo menghadapi ujian besar: apakah pemerintahannya mampu menegakkan hukum secara adil dalam kasus-kasus perampasan tanah adat, serta kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan buruh? Jika era ini ingin dicatat sebagai era restorative justice, maka hukum harus berpihak pada keadilan sosial. Polisi tidak boleh lagi menjadi alat represi, dan jaksa tidak boleh berfungsi sebagai tukang stempel bagi kepentingan kekuasaan.

Presiden Prabowo sering dipersepsikan sebagai sosok kuat. Namun kekuatan personal tidak cukup. Yang lebih penting adalah membangun institusi hukum yang kuat, independen, dan berwibawa. Negara hukum tidak boleh bergantung pada “siapa presidennya”, melainkan harus dibangun di atas sistem dan lembaga yang tangguh.

Presiden Prabowo harus memastikan bahwa penguatan institusi seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan LPSK bukan sekadar formalitas, tapi benar-benar didorong untuk menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak rakyat. Jika Presiden Prabowo berhasil menempatkan hukum sebagai panglima, dan tidak tunduk pada tekanan kekuasaan, maka ia akan dikenang sebagai presiden yang memperbaiki fondasi keadilan di Indonesia.

Namun bila hukum dibiarkan menjadi alat kekuasaan atau sarana balas dendam politik, maka sejarah akan mencatatnya sebagai presiden yang gagal menegakkan hukum dalam arti sejatinya. Di tengah dinamika global dan tekanan oligarki, jalan Prabowo untuk menegakkan hukum memang tidak mudah. Namun itulah ukuran sejati dari seorang negarawan: berani menegakkan hukum, meski melawan arus dan kepentingan elit.

Penutup

Dalam demokrasi yang sehat, Presiden Prabowo bukan hanya pemimpin eksekutif, tetapi juga simbol persatuan nasional. Dalam kapasitas itu, Prabowo Subianto sebagai Presiden diuji untuk menunjukkan jiwa negarawan dalam menyikapi kasus-kasus yang rentan menimbulkan polarisasi. Pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom bisa menjadi bagian dari langkah politik yang menyejukkan, sebagaimana Alm. Presiden BJ Habibie dulu memberi amnesti kepada tahanan politik Orde Baru.

Ini bukan soal setuju atau tidak terhadap pilihan politik keduanya, melainkan soal komitmen Presiden Prabowo dalam membangun rekonsiliasi nasional, menjaga kebebasan sipil, serta memastikan bahwa hukum tidak diperalat untuk menggebuk oposisi. Pemberian abolisi atau amnesti yang diberikan Presiden Prabowo menjadi pintu masuk menuju rekonsiliasi politik yang lebih luas. Langkah tersebut akan memberi pesan kuat bahwa Indonesia tidak boleh kembali ke masa di mana hukum dikendalikan oleh rasa dendam atau trauma politik.

Dalam sejarah bangsa ini, kita belajar bahwa demokrasi yang matang bukan hanya ditandai dengan kemenangan dalam pemilu, tetapi juga oleh kemampuan untuk memaafkan, mengajak berdialog, dan merangkul perbedaan. Pemberian abolisi dan amnesti kepada Hasto dan Tom bila dilakukan dengan pertimbangan yang cermat dan keadilan yang adil akan menjadi langkah maju dalam memperkuat demokrasi, menyembuhkan luka politik, dan menyatukan kembali energi bangsa untuk pembangunan. Presiden Prabowo punya kesempatan emas untuk mencatat sejarah, bukan dengan tangan besi, tapi dengan kebijaksanaan negarawan.

Penulis adalah Dekan Fisip Universitas Jakarta, Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI, Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Bandung.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE