Scroll Untuk Membaca

Opini

Aceh, Dari Perang Ke Damai (Refleksi 20 Tahun Hari Damai Aceh)

Aceh, Dari Perang Ke Damai (Refleksi 20 Tahun Hari Damai Aceh)
Kecil Besar
14px

Oleh Herman RN

Setelah 20 tahun usia perdamaian GAM-RI, Aceh masih tetap menjadi daerah termiskin di Sumatera. Peringkat pendidikan Aceh masih tetap berada di bawah Papua

Dua puluh tahun tentunya usia yang lumayan matang untuk merefleksikan perjalanan damai Aceh dan Indonesia. Penandatanganan kesepahaman damai (MoU) di Helsinki, yang dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, merupakan momentum penting dalam sejarah konflik Aceh.

Perjanjian kesepahaman damai tersebut memang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Namun, MoU itu menjadi catatan sangat penting bagi Aceh dan Indonesia secara general. Perlu dicatat, dalam sejarah perang yang pernah dialami oleh Aceh, baru kali ini ada kesepakatan damai. GAM pun mengaku sebagai representasi rakyat Aceh.

Sejarah mencatat bahwa Aceh pernah mengalami perang global atau konflik internasional dengan beberapa bangsa besar di dunia. Aceh pernah perang melawan Portugis (1511). Aceh juga pernah berperang melawan Inggris sekitar tahun 1880-an, di saat yang sama Aceh sedang menghadapi Belanda yang sudah lebih dahulu mengeluarkan maklumat perang terhadap Aceh (1873). Sejak Meret 1942, Jepang masuk ke Aceh melalui Aceh Besar, Sabang, dan Aceh Timur. Dari tiga penjuru inilah, Jepang berusaha menguasai Aceh dan akhirnya meledak perang Jepang vs Aceh.

Selain konflik secara global melawan bangsa asing, Aceh juga pernah mengalami konflik internal atau konflik lokal. Konflik internal di Aceh dapat dilihat dalam dua aspek: horizontal dan vertikal. Konflik internal secara horizontal merupakan konflik sosial yang terjadi dalam wilayah internal Aceh, yakni konflik sesama Aceh.

Konflik internal sesama Aceh ini sudah ada sejak Aceh masih berbentuk kerajaan. Saat itu terjadi perebutan wilayah kekuasaan antara Raja Muda, putra mahkota Sultan Alaudin Mansyur Syah, yang menjadi penerus kerajaan. Wilayah pusat kota terbelah menjadi dua: kekuasaan Raja Muda dan kekuasaan Jamaloi Alam. Hal ini dinukil dalam Hikayat Pocut Muhammad dengan sindirian “Saboh peuraho dua droe pawang/ Akhe karam jeuet binasa” yang maksudnya ‘Satu kapal dua nakhoda/ akhirnya tenggelam jadi binasa’.

Konflik internal sesama Aceh lainnya terjadi setelah Indonesia Memproklamasikan Kemerdekaan dan Aceh masuk ke dalam wilayah Indonesia. Konflik internal ini sangat memilukan dan memalukan. Pasalnya, konflik ini terjadi antara ulama dan kelompok uleebalang. Konflik inilah yang dikenal dengan Perang Cumbok.

Selanjutnya, konflik internal di Aceh juga terjadi secara vertikal, antara rakyat Aceh dengan pemerintah Indonesia. Disebut konflik vertikal karena pihak petikai antara rakyat dengan pemerintah atau antara daerah dengan pusat. Konflik vertikal di Aceh pernah terjadi beberapa kali. Pertama, saat Daud Beureueh menginginkan terbentuknya pemerintahan Islam di Aceh. Konflik ini dikenal dengan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sekitar tahun 1953. Kedua, konflik vertikal dalam bentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipelopori oleh Hasan Tiro (1976-2005). Kedua konflik vertikal ini juga terjadi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dan Aceh bubar dari sistem kerajaan.

Hal yang menarik dari setiap periodisasi perang dan konflik sosial di Aceh, tidak pernah ada perjanjian damai dalam setiap periode konflik tersebut, tidak pernah ada kata menyerah dari Aceh. Hanya pada saat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) inilah baru ada kata kesepahaman damai di Aceh. Tentu saja ini menarik. Aceh mampu bertahan selama berabad gejolak perang internasional, tetapi memilih jalur damai dalam konflik lokal vertikal.

Dalam perang Internasional Aceh dengan Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang, tidak pernah ada catatan sejarah yang menyebutkan Aceh berdamai dengan bangsa-bangsa itu. Tidak pula ada catatan sejarah yang menyebutkan Aceh menyerah dari kondisi perang yang terjadi kala itu. Bahkan, Belanda sendiri minta pengakuan kedaulatan dari Aceh agar mereka dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia saat itu. Permintaan pengakuan kedaulatan tersebut tertuang dalam plakat pendek Korte Verklaring. Sebagian penulis sejarah mencatat plakat pendek ini sebagai perjanjian damai antara Aceh dengan Belanda. Padahal, isinya bukan perjanjian damai, melainkan permintaan pengakuan kedaulatan Belanda kepada Kerajaan Aceh.

Demikian pula saat Jepang menjajah Aceh, tidak ada catatan sejarah yang menyatakan Aceh menyerah. Meskipun Jepang berhasil menduduki beberapa wilayah Aceh, seperti di Sabang, dan wilayah timur, Aceh tetap menyatakan perlawanan sehingga Jepang akhirnya pergi dari Aceh. Pun dengan Portugis, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan adanya kesepakatan damai antara Aceh dengan Portugis dan tidak ada catatan sejarah yang mengatakan Aceh menyerah pada Portugis. Bahkan, perang melawan Portugis dapat dikatakan sebagai perang terlama yang dialami Aceh. Namun, Aceh tetap bertahan dan terus mengadakan perlawanan hingga Portugis sendiri pergi dari wilayah Aceh dengan meninggalkan jejak perempuan bermata biru.

Janji Damai?

Ada hal yang menarik dari sejarah panjang gejolak perang dan konflik sosial di Aceh, yakni ketahanan masyarakat Aceh mampu hidup dalam berbagai periodisasi konflik tersebut. Dengan berbagai kondisi perang yang dialami, Aceh tak mau berdamai dengan bangsa-bangsa itu. Namun, Aceh memilih damai dengan Pemerintah Indonesia setelah berkonflik selama 29 tahun.

Pertanyaan pentingnya, apakah orang Aceh “gila perang” sehingga tidak mau melahirkan kesepakatan damai dengan bangsa-bangsa penjajah itu? Lantas, mengapa Aceh memilih damai saat mengalami konflik vetikal dengan Pemerintah Indonesia? Pertanyaan penting lainnya, apakah konflik Aceh akan kembali bergejolak setelah perjanjian damai ini?

Pemerintah Indonesia dapat belajar, bahwa orang Aceh itu bukan masyarakat “gila perang”, melainkan masyarakat yang memiliki karakter peumulia jamee, yakni memuliakan tamu. Portugis datang diberikan tempat. Belanda mampir diberikan wilayah. Inggris muncul diberikan kesempatan dagang. Jepang tiba pun dimuliakan. Perang hanya terjadi manakala Aceh dikhianati. Ini catatan yang sangat penting. Bahkan, gejolak DI/TII dan GAM pun muncul karena masalah keadilan. Oleh karenanya, penting merefleksikan 20 tahun damai Aceh dengan nilai-nilai keadilan dari Pemerintah Indonesia. Bukan tidak mungkin jika perjanjian damai ini akan ternodai manakala riak-riak politik ‘mengkhianati’ Aceh.

Setelah 20 tahun usia perdamaian GAM-RI, Aceh masih tetap menjadi daerah termiskin di Sumatera. Peringkat pendidikan Aceh masih tetap berada di bawah Papua. Apakah prestasi ini menjadi kebanggaan dalam merawat perdamaian Aceh? Hal ini menjadi PR bagi pemerintah Aceh yang gubernurnya saat ini adalah panglima GAM. Hal ini pula yang menjadi alasan bahwa Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh perlu duduk runding kembali, merefleksikan hari damai Aceh yang diperingati setiap Agustus. Selamat memperingati 20 tahun Hari Damai Aceh.

Penulis adalah Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE