Oleh Dr. Muhammad Thariq S.Sos., M.I.Kom
Isu sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara belakangan kembali mengemuka dan memantik respons beragam. Dalam situasi seperti ini, semangat untuk berdiskusi secara terbuka, santun, dan saling menghormati menjadi kunci agar perbedaan pandangan tidak berubah menjadi permusuhan yang merugikan semua pihak.
Perlu dipahami bahwa perbedaan persepsi mengenai status kepemilikan pulau bukan berarti ada upaya pencaplokan wilayah atau pengingkaran atas kedaulatan suatu daerah. Persoalan ini lebih tepat dipahami sebagai perbedaan administratif yang membutuhkan kejelasan hukum dan tata batas. Justru di sinilah ruang dialog terbuka sangat dibutuhkan agar semua pihak dapat duduk satu meja, menyamakan pemahaman, dan mencari solusi terbaik secara bersama.
Pemerintah pusat melalui Kemendagri telah mengeluarkan putusan sebagai bentuk penataan kewilayahan. Namun, reaksi atas putusan ini semestinya tidak disikapi dengan emosi atau kecurigaan berlebihan. Baik Aceh maupun Sumut adalah dua provinsi yang memiliki sejarah panjang, kedekatan geografis, dan hubungan sosial yang erat. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan sebaiknya bersifat kolaboratif, bukan konfrontatif.
Adalah hak setiap daerah untuk memperjuangkan kepentingan wilayahnya, namun harus dilakukan dengan cara yang proporsional dan konstitusional. Gubernur Aceh dan jajaran elit politiknya tentu memiliki alasan dan dasar untuk menyuarakan keberatan, tetapi sebaiknya tetap dalam bingkai kebangsaan dan semangat kekeluargaan. Di sisi lain, Sumut juga berkewajiban menjaga narasi yang inklusif dan merangkul, agar proses penyelesaian tidak terjebak dalam polarisasi yang justru mengaburkan persoalan utama.
Kita tidak ingin isu ini digeser menjadi komoditas politik sempit oleh pihak-pihak yang berkepentingan elektoral. Ketegasan dalam menyuarakan pendapat tetap bisa dibingkai dengan etika dan semangat kebersamaan. Jangan sampai narasi yang berkembang justru menciptakan kesan bahwa dua daerah bersaudara ini seolah berasal dari negara yang berbeda.
Diskusi yang sehat dan terbuka, berbasis data dan hukum, akan membawa manfaat jangka panjang. Baik Aceh maupun Sumatera Utara tentu menginginkan hal yang sama: kesejahteraan rakyat, keadilan administratif, dan kemajuan bersama. Mari kedepankan musyawarah, bukan prasangka. Bangun komunikasi antar pemerintah daerah secara intensif, terbuka, dan jauh dari provokasi politik yang menyesatkan.
Kita semua bersaudara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan biarkan perbedaan sudut pandang memecah kebersamaan yang telah terbangun lama.
Selamat berdiskusi, demi kebaikan rakyat dan kemajuan dua provinsi yang sama-sama kita cintai.
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara